Sering kali orang mengidentikkan  Museum Nasional dengan arca. Dulu, memang yang dominan di museum ini  adalah arca batu. Koleksi-koleksi inilah yang pertama kali dilihat oleh  pengunjung, setelah mereka membeli tiket masuk. Tidak heran bila  kemudian Museum Nasional sering disebut Gedung Arca.
Namun  sesungguhnya, koleksi-koleksi Museum Nasional amat beragam. Banyak  kekayaan budaya dari berbagai daerah terlestarikan di sini. Salah satu  di antaranya adalah uang kampua atau bida. Boleh dibilang koleksi ini  merupakan masterpiece ruang Numismatik dan Heraldik sampai sekarang.
Dibandingkan  mata uang yang beredar sekarang, bentuk uang kampua sangat unik dan  bisa dibilang langka. Uang ini dibuat dengan keterampilan tangan,  bahannya adalah kain katun berukuran panjang 140 mm dan lebar 170 mm.  Cara pembuatannya bukan dicetak tapi ditenun oleh putri-putri istana  atau kalangan kerajaan.
Mata uang yang berada di Museum Nasional  berasal dari abad ke-19 di Kerajaan Buton, Sulawesi Tenggara.  Kemungkinan kampua merupakan uang tertua di Pulau Sulawesi. Selain di  Buton, kampua juga pernah diberlakukan di Bone, Sulawesi Selatan, dengan  bahan serat kayu.
Menurut cerita, kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona. Dia memerintah sekitar abad ke-14.
Diawasi ketat
Keunikan  lain uang kampua sistem pengawasannya yang mirip-mirip pengawasan bank  sentral di masa modern. Agar terkendali peredarannya, maka jumlah dan  corak uang ini ditentukan oleh “BI-nya” Buton, yang dipimpin Menteri  Besar Kerajaan yang disebut Bonto Ogena. Dialah yang melakukan  pengawasan dan pencatatan atas setiap lembar kain kampua, baik yang  telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong.
Pengawasan  oleh Bonto Ogena juga dimaksudkan agar tidak timbul pemalsuan. Karena  itu, hampir setiap tahun motif dan corak kampua selalu berubah. Hukum di  sana memang sangat ketat dan berat. Barang siapa yang ketahuan membuat  atau memalsukan uang kampua akan dipancung.
Standar pemotongan  kain kampua adalah dengan mengukur lebar dan panjangnya, yakni empat  jari untuk lebarnya dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang  pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya. Tangan  yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Bonto Ogena sendiri.
Mata  uang kampua banyak digunakan pada masa pemerintahan Sultan Dayan pada  abad ke-14. Tapi diyakini pembuatannya sudah dilakukan pada pemerintahan  raja sebelumnya. Disayangkan, informasi yang akurat belum ditemukan.
Kampua  menjadi populer karena Sultan Dayan memerintahkan agar setiap transaksi  menggunakan mata uang tersebut. Barang siapa yang ketahuan menggunakan  mata uang lain, akan dihukum mati.
Pada awal pembuatannya,  standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu bida (lembar) kampua  adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam.
Setelah Belanda  memasuki wilayah Buton, kira-kira tahun 1851, fungsi kampua sebagai alat  tukar lambat laun mulai digantikan uang-uang buatan Kompeni. Ditetapkan  bahwa nilai tukar untuk 40 lembar kampua sama dengan 10 sen duit  tembaga, atau setiap empat lembar kampua mempunyai nilai sebesar satu  sen. Walaupun demikian, kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu  di Kepulauan Buton sampai tahun 1940.
Kita termasuk beruntung  karena beberapa museum masih memiliki koleksi uang kampua kuno dengan  berbagai corak dan ragam. Selain di Museum Nasional, koleksi uang kampua  juga dimiliki Museum Bank Indonesia Jakarta Kota dan Museum Mpu  Tantular Surabaya.
Kamis, 07 Oktober 2010
UANG KAMPUA SISTIM PEMBAYARAN DI BUTON
News publik :
                                                                                                                 
             
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
                      
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar