Minggu, 10 Oktober 2010

MENJALA KESEJAHTERAAN BARU BAGI NELAYAN

News publik :

Menggagas Kepahlawanan Abad ke-21


Nuraeny
TERKAIT:
Pelelangan ikan di Makassar adalah daerah kekuasaan tengkulak, atau punggawa dalam istilah setempat. Untuk sekadar masuk ke dalam, orang setidaknya harus membayar Rp 150.000. Itu sebabnya Nuraeny sempat kena semprot ketika ia hendak membeli ikan langsung dari nelayan di luar pelelangan. Para punggawa mengatakan bahwa nelayan akan kesulitan mendapatkan pembayaran bila menjual ikan ke Koperasi Wanita Nelayan Fatimah Az-Zahra bentukan Nuraeny bakal lama menerima pembayaran Bahkan, ia juga dituduh hendak memperkaya diri sendiri. “Mereka marah karena tak mengerti,” kata Nuraeny, 42 tahun, yang biasa disapa Enny.


Enny tak mau berhadap-hadapan langsung. Ia memilih membeli dari istri-istri nelayan. Dengan cara ini, ia mendapatkan bahan baku untuk produk kulinernya seperti abon ikan, pastel abon, bandeng tulang lunak, dan krupuk ikan. Secara bersamaan, para sawi—buruh nelayan—juga beroleh penghasilan lebih karena sekalipun tengkulak membayar cepat, paling besar mereka hanya mendapatkan Rp 20.000 per hari.

Silang jalan dengan tengkulak adalah salah satu cerita lama Koperasi Fatimah. Sekarang, kalau pesanan banyak, Enny tak ragu masuk ke pelelangan dan membeli ikan di sana.

Resminya, koperasi yang mengambil nama putri Nabi Muhammad SAW ini berdiri pada 2007. Namun, cikal bakalnya muncul sejak 1994. Yang mengawalinya justru cerita duka. Suami Enny, seorang pegawai BUMN, meninggal dunia pada tahun itu. Ditinggal dengan tiga anak yang masih kecil, Enny yang semula ibu rumah tangga mau tak mau memutar otak untuk mendapatkan penghasilan.

Untuk melamar pekerjaan ke kantor-kantor ia merasa tak cukup percaya diri sekalipun mengantongi ijazah Sarjana Sospol dari Universitas Hasanudin, Makassar. Apa lagi, ia merasa tidak nyaman bila harus terlalu sering meninggalkan buah hatinya. Maka, ia pun belajar keterampilan membuat makanan dari hasil laut dan kemudian menjualnya.

Apa yang dilakukan Enny menarik perhatian para tetangganya, istri-istri nelayan di Kelurahan Pattingaloan, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Mereka mengeluhkan nasib mereka. Jika musim hujan, misalnya, suami mereka tidak bisa melaut.

Kalaupun melaut, hasilnya sedikit sedangkan mereka sendiri tidak bekerja sehingga kehidupan mereka memprihatinkan. Kebiasaan keluarga nelayan setempat mengadu ini sebetulnya sudah dimulai semasa mendiang suami Enny hidup karena yang bersangkutan ditokohkan di sana. “Ternyata curhat ini berlanjut,” kata Enny yang menjabat Ketua RT di kampungnya.

Prinsipnya, kaum wanita di kampung nelayan itu minta diajak dan diajari membikin penganan dari ikan. Ketika yang ikut makin banyak, Enny terpikir melembagakannya. Tantangan pertama adalah menjelaskan apa itu koperasi. Ia tak mau menggunakan teori muluk-muluk. Pendekatan yang ia lakukan adalah berbicara dengan bahasa setempat: Bugis, Makassar, dan Mandar. “Pokoknya, saya menjadi diri mereka,” ujar Enny.

Karena para wanita nelayan ini tak memiliki modal, Enny mencari pinjaman dan berhasil mendapatkan modal awal Rp 6 juta. Produk mereka pun berkembang, semula ikan pindang kemudian abon ikan tanpa pengawet. Yang pertama ditinggalkan karena kurang awet dan bau amisnya sangat kuat sehingga peminatnya terbatas.

Awalnya, abon ikan dipasarkan melalui jaringan, pertemanan, dan tukang becak yang tinggal di sekitar desa mereka. Pelanggan pertama mereka adalah beberapa LSM di Makassar. Namun, abon mereka laku bukan karena solidaritas belaka. Harga abon yang Rp 100.000 per kilo sepadan dengan kualitas rasa. Mengingat permintaan semakin banyak, termasuk dari luar Sulawesi Selatan, Koperasi Fatimah akhirnya meminjam Rp 15 juta dari Dinas Koperasi setempat untuk membeli alat penggenjot produksi. Pinjaman ini kini sudah diangsur lunas.

Modal Koperasi Fatimah sekarang sudah berkembang menjadi Rp 25 juta. Setiap pekannya, anggota koperasi mendapatkan uang dari bagi hasil produk yang terjual. Keuntungan sebagian disisihkan untuk kegiatan-kegiatan sosial, semisal pemberian makanan tambahan kepada anak agar tidak terkena gizi buruk dan penyantunan manula.

Koperasi Fatimah saat ini dikelola oleh anak-anak nelayan yang pendidikannya SMA. Sekalipun mereka tak dibayar, mereka melakukannya dengan senang hati karena sebagai pengurus mereka mendapat prioritas mendapatkan pinjaman—saat ini ada 100 orang yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Perempuan Nelayan yang mengantre untuk dapat pinjaman. “Saya membebaskan mereka mengatur termin pembayaran sendiri,” kata Enny. Persyaratan serupa juga dikenakan kepada para peminjam lain.

Berkat kiprahnya, Enny saat ini berhasil terpilih sebagai finalis program Community Entrepreneurs Challenge yang dimulai pada Maret 2010 lalu oleh Arthur Guinness Fund dan British Council. Ia merupakan salah satu dari 90 semi-finalis yang berhasil menyisihkan lebih dari 500 aplikasi pada program berskala nasional ini.

Salah satu poin penting yang diraih Enny dan Koperasi Fatimah adalah solusi konkret mereka atas permasalahan di lingkungan mereka: kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan. Mereka juga tak ragu mengambil peran di masyarakat yang kultur patriarkinya masih kuat. Ia percaya bahwa wanita memiliki tanggung jawab dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada di komunitasnya.

Ke depan, Enny ingin koperasinya tetap langgeng dan produknya makin berkualitas karena akan makin banyak orang yang terbantu. “Kepahlawanan tidak harus jauh-jauh, cukup membantu orang lain dan masyarakat yang ada di lingkungan sekitar kita,” kata Enny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar