
Enny tak mau  berhadap-hadapan langsung. Ia memilih membeli dari istri-istri nelayan.  Dengan cara ini, ia mendapatkan bahan baku untuk produk kulinernya  seperti abon ikan, pastel abon, bandeng tulang lunak, dan krupuk ikan.  Secara bersamaan, para sawi—buruh nelayan—juga beroleh penghasilan lebih  karena sekalipun tengkulak membayar cepat, paling besar mereka hanya  mendapatkan Rp 20.000 per hari.
Silang jalan dengan tengkulak  adalah salah satu cerita lama Koperasi Fatimah. Sekarang, kalau pesanan  banyak, Enny tak ragu masuk ke pelelangan dan membeli ikan di sana.
Resminya,  koperasi yang mengambil nama putri Nabi Muhammad SAW ini berdiri pada  2007. Namun, cikal bakalnya muncul sejak 1994. Yang mengawalinya justru  cerita duka. Suami Enny, seorang pegawai BUMN, meninggal dunia pada  tahun itu. Ditinggal dengan tiga anak yang masih kecil, Enny yang semula  ibu rumah tangga mau tak mau memutar otak untuk mendapatkan  penghasilan.
Untuk melamar pekerjaan ke kantor-kantor ia merasa  tak cukup percaya diri sekalipun mengantongi ijazah Sarjana Sospol dari  Universitas Hasanudin,  Makassar. Apa lagi, ia merasa tidak nyaman bila  harus terlalu sering meninggalkan buah hatinya. Maka, ia pun belajar  keterampilan membuat makanan dari hasil laut dan kemudian menjualnya.
Apa  yang dilakukan Enny menarik perhatian para tetangganya, istri-istri  nelayan di Kelurahan Pattingaloan, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar.  Mereka mengeluhkan nasib mereka. Jika musim hujan, misalnya, suami  mereka tidak bisa melaut.
Kalaupun melaut, hasilnya sedikit  sedangkan mereka sendiri tidak bekerja sehingga kehidupan mereka  memprihatinkan. Kebiasaan keluarga nelayan setempat mengadu ini  sebetulnya sudah dimulai semasa mendiang suami Enny hidup karena yang  bersangkutan ditokohkan di sana. “Ternyata curhat ini berlanjut,” kata  Enny yang menjabat Ketua RT di kampungnya.   
Prinsipnya, kaum  wanita di kampung nelayan itu minta diajak dan diajari membikin penganan  dari ikan. Ketika yang ikut makin banyak, Enny terpikir  melembagakannya. Tantangan pertama adalah menjelaskan apa itu koperasi.  Ia tak mau menggunakan teori muluk-muluk. Pendekatan yang ia lakukan  adalah berbicara dengan bahasa setempat: Bugis, Makassar, dan Mandar.  “Pokoknya, saya menjadi diri mereka,” ujar Enny.
Karena para  wanita nelayan ini tak memiliki modal, Enny mencari pinjaman dan  berhasil mendapatkan modal awal Rp 6 juta. Produk mereka pun berkembang,  semula ikan pindang kemudian abon ikan tanpa pengawet. Yang pertama  ditinggalkan karena kurang awet dan bau amisnya sangat kuat sehingga  peminatnya terbatas.
Awalnya, abon ikan dipasarkan melalui  jaringan, pertemanan, dan tukang becak yang tinggal di sekitar desa  mereka. Pelanggan pertama mereka adalah beberapa LSM di Makassar. Namun,  abon mereka laku bukan karena solidaritas belaka. Harga abon yang Rp  100.000 per kilo sepadan dengan kualitas rasa. Mengingat permintaan  semakin banyak, termasuk dari luar Sulawesi Selatan, Koperasi Fatimah  akhirnya meminjam Rp 15 juta dari Dinas Koperasi setempat untuk membeli  alat penggenjot produksi. Pinjaman ini kini sudah diangsur lunas.
Modal  Koperasi Fatimah sekarang sudah berkembang menjadi Rp 25 juta. Setiap  pekannya, anggota koperasi mendapatkan uang dari bagi hasil produk yang  terjual. Keuntungan sebagian disisihkan untuk kegiatan-kegiatan sosial,  semisal pemberian makanan tambahan kepada anak agar tidak terkena gizi  buruk dan penyantunan manula.
Koperasi Fatimah saat ini dikelola  oleh anak-anak nelayan yang pendidikannya SMA. Sekalipun mereka tak  dibayar, mereka melakukannya dengan senang hati karena sebagai pengurus  mereka mendapat prioritas mendapatkan pinjaman—saat ini ada 100 orang  yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Perempuan Nelayan yang mengantre  untuk dapat pinjaman. “Saya membebaskan mereka mengatur termin  pembayaran sendiri,” kata Enny. Persyaratan serupa juga dikenakan kepada  para peminjam lain.
Berkat kiprahnya, Enny saat ini berhasil  terpilih sebagai finalis program Community Entrepreneurs Challenge yang  dimulai pada Maret 2010 lalu oleh Arthur Guinness Fund dan British  Council. Ia merupakan salah satu dari 90 semi-finalis yang berhasil  menyisihkan lebih dari 500 aplikasi pada program berskala nasional ini.
Ke depan, Enny ingin koperasinya tetap langgeng dan produknya makin berkualitas karena akan makin banyak orang yang terbantu. “Kepahlawanan tidak harus jauh-jauh, cukup membantu orang lain dan masyarakat yang ada di lingkungan sekitar kita,” kata Enny.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar