Di tengah modernisasi dan suasana perkotaan yang serba simple dan fleksible, beberapa tata cara atau adat istiadat seringkali terlupakan. Tak hanya di kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam melangsungkan pernikahan. Bahkan sebagian mengatakan "sudah nggak jamannya lagi dengan adat istiadat yang serba ribet".
Tetapi tidak semua seperti itu. Satu di antaranya keluarga Martinus Baling, warga suku Dayak Bahau atau Kayan asal Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur yang sudah menetap dan beranak pinak di Kota Balikpapan puluhan tahun lamanya.
Meski menikah dengan wanita asal Jawa, adat istiadat kesukuannya tak pernah ditinggalkan. Begitu juga saat putrinya yang bernama Diana Andhayani atau Tening (nama Dayak yang artinya air yang bening) dipersunting pria Jawa bernama Doto Priyono.
Pernikahan secara adat Dayak tak ditinggalkan walau keduanya sudah berijab kabul di depan penghulu, Minggu (10/10). Upacara pernikahan adat Dayak Hawaq yang dilalui Tening dan Doto diawali dengan upacara mebat sekilah atau upacara buang sial.
Kedua mempelai berdiri di atas kain. Sementara tetua adat mengipasi keduanya dengan beberapa macam daun, di antaranya daun pisang. Ritual ini, menurut Klawi Isah, adik dari Martinus untuk membuang sial, kekurangan di masa lalu supaya menjadi baru.
"Dalam pernikahan adat ini, kedua mempelai menggunakan baju adat yang umurnya bisa jadi lebih tua dari umur keduanya. Keramat-lah begitu. Sehingga, harus buang sial. Supaya tidak pamali, tidak sakit kalau mengenakan baju tersebut di pelaminan," ungkap Klawi.
Kemudian, masih berdiri di atas kain dengan diiringi tabuhan gong tetua adat didampingi orang tua mempelai perempuan, memberi nama Dayak bagi mempelai laki-laki. Kemarin, Doto mendapat nama Lisang Teqwan yang artinya, semua yang tidak baik, luput atau lepas dari marabahaya.
Selanjutnya kedua mempelai yang masing-masing telah memiliki nama Dayak, melaksanakan ritual kawin kecil atau usut baq. Masih dengan mengipas dedaunan, tetua adat menyatakan keduanya sudah bisa bersama. Berada di rumah bersama, tidur dan makan bersama.
Kedua mempelai juga melakukan ritual gigit parang yang didahului oleh mempelai wanita. Sebilah parang ditempelkan di dahi kemudian ke bibir untuk digigit. "Ritual ini, dimaksudkan agar kedua mempelai kuat seperti parang dalam menjalani kehidupan perkawinan," ujar Klawi.
Setelah digigit, parang pun diinjak oleh kedua mempelai. "Dengan menginjak parang, diharapkan semua kejelekan dan keburukan dapat dihancurkan," kata Klawi.
Terakhir, sebuah mandau (senjata khas suku Dayak, red) diikatkan oleh tetua adat ke pinggang mempelai laki-laki. Maknanya, menurut Klawi, sebagai kekuatan dan kelanggengan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Setelah rentetan ritual usai dilaksanakan, kedua mempelai pun di arak menuju pelaminan. "Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi. Jadi, biar hidup di tengah kota, adat istiadat nenek moyang harus tetap kita pertahankan. Saat saya menikah dengan almarhum istri saya, kami juga melalui ritual adat yang sama seperti anak saya lakukan," kata Martinus di sela-sela kesibukan menggelar acara pernikahan putrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar