Kamis, 07 Oktober 2010

KOTA BATAVIA EX ME IPSA RENATA SUM DAN MANO IN FICA

News publik :


- Gedung eks Balai Kota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta (MSJ) masih menyisakan berbagai kisah kehidupan Kota Batavia. Kisah gedung itu sendiri pun masih menarik disimak, berpadu dengan berbagai koleksi yang bukan hanya bisa dinikmati tapi yang paling penting, bisa dipelajari. Masuk ke gedung bekas Stadhuis atau Balai Kota Batavia, menuju halaman belakang, tersimpan pula beberapa koleksi yang menyatu dengan taman belakang. Sebut saja Patung Hermes, Meriam Si Jagur, dan Prasasti atau Monumen Pieter Erberveld.

Di bagian lain dari gedung itu terdapat tangga melingkar menuju loteng. Tangga tersebut berasal dari balai kota lama, yaitu balai kota kedua yang dibangun 1626 dan kemudian direnovasi beberapa kali. Di masa masih berfungsi, tangga tersebut menghubungkan ke loteng gedung balai kota. Di loteng itulah gudang arsip balai kota berada. Dari loteng ini, ada tangga lain yang sangat curam, menuju ke menara di mana lonceng menara balai kota berada.

Untuk loteng dan menara memang tidak dibuka untuk umum. Pasalnya, kondisi bangunan yang sudah 300 tahun tentu tidak bisa diperlakukan sembarangan. Loteng tak lagi digunakan dan melangkah pun harus sangat hati-hati. Kondisi loteng pengap dan gelap. Menuju dan turun dari lonceng di menara cukup menguras tenaga karena tangga tersebut sempit dan curam. Beberapa waktu lalu sudah dibahas mengenai lonceng yang biasa dibunyikan saat akan ada eksekusi hukuman mati di Balai Kota Batavia.

Meriam perunggu yang bertuliskan “ex me ipsa renata sum” dan terkenal dengan nama Si Jagur kini berada di belakang taman MSJ. Persis di hadapan si meriam, berdiri Patung Hermes. Sebelum sampai pada posisi sekarang ini, Meriam Si Jagur beberapa kali pindah tempat. Meriam Portugis ini dibawa ke Batavia oleh Belanda, setelah merebut Malaka tahun 1641, untuk ditempatkan di Benteng Belanda untuk menjaga pelabuhan.

Menurut Adolf Heuken dalam “Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta”, arti kalimat berbahasa Latin itu adalah “dari saya sendiri aku dilahirkan kembali”. Dari kalimat ex me ipsa renata sum itu, tersimpan simbol X, I, dan V (eX me Ipsa renata sVm) yang memberi arti bahwa meriam besar itu dibikin dari 16 (X+I+V) meriam kecil. Meriam ini dibuat di Macau oleh MT Bocarro untuk Bentenng Malaka.

Keunikan lain meriam ini adalah simbol Mano in Fica. Dalam kamus simbolisasi, Mano in Fica yaitu simbol jempol dalam kepalan tangan bermakna sebuah representasi kuno persatuan seksual atau persetubuhan. Dalam tradisi Roma, simbol itu diasosiasikan dengan kesuburan dan erotisme. Maka kisah tentang tahyul pun merebak sehingga di masa lampau meriam ini dianggap keramat. Pasangan suami istri yang menginginkan anak, mendatangi meriam ini untuk melakukan ritual menabur bunga dan kemudian menduduki meriam tersebut.

Museum Pusat (kini Museum Nasional) sempat menjadi tempat Si Jagur sebelum kemudian dipindah ke Museum Wayang di seputaran tahun 1968. Kisah Akum, petugas MSJ yang sudah lebih dari 30 tahun membantu museum, “Saya ikut mengangkat Si Jagur masuk ke Museum Wayang,” sesuai dengan data Heuken yang menyebut, untuk menjaga Si Jagur, maka meriam ini disimpan di ruang bawah Museum Wayang.

Sekitar tahun 1974, meriam itu kemudian keluar dari persembunyian, diletakkan di Taman Fatahillah hingga tertutup pedagang kaki lima. Di awal abad 21, Si Jagur diselamatkan. Masuk ke dalam taman belakang MSJ. Tahyul tentang Si Jagur pun makin menghilang. Di abad 21 ini, pengunjung MSJ bahkan tak peduli pada sejarah meriam. Mereka hanya peduli pada foto diri di meriam tersebut. Meski sudah tertulis larangan menyentuh, mereka malah menduduki meriam bersejarah itu.

Sementara itu keberadaan Patung Hermes di MSJ juga terjadi di abad 21, yaitu setelah di akhir abad 20, 1999, patung yang biasa berdiri di jembatan Harmoni hilang. Begitu ditemukan dan dibikin replika untuk dipasang kembali di jembatan, yang asli kemudian disimpan di MSJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar