Kamis, 07 Oktober 2010

PERJANJIAN DAGANG OKI BELUM DI RATIFIKASI

News publik :

Perjanjian perdagangan bebas antarnegara Organisasi Konferensi Islam atau OKI yang sudah dibuat sejak tahun 1990, ternyata belum juga diratifikasi oleh Indonesia, hingga saat ini.

Kesibukan pemerintah membuat ratifikasi ini terus menerus tertunda, padahal hal tersebut akan lebih memperlancar arus barang dari Indonesia, sehingga dapat dikembangkan.

"Kami akan percepat proses ratifik asi ini, karena sudah sejak 1990. Akan tetapi karena kesibukan, belum dilakukan juga . Saya akan percepat sekarang," kata Menteri Koordionator Perekonomian Hatta Rajasa di Istanbul, Turki, Kamis (7/10/2010) di sela-sela pertemuan tingkat menteri Standing Committee Kerjasama Ekonomi dan Komersial ( Economic and Commercial Cooperation /COMCEC) ke-26, OKI.

Negara-negara OKI telah menyusun sebuah kerangka kerjasama perdagangan bebas, jauh sebelum perjanjian perdagangan bebas ASEAN atau ASEAN plus China dibuat. Kerjasama perdagangan bebas OKI ini dibuat dalam sebuah kerangka kerja yang dinamakan Trade Preferential System Among the Member States of the OIC (TPS-OIC).

TPS-OIC ini dibuat pada tahun 1990 dalam pertemuan COMCEC ke-6. Sebagai tindak lanjut dari TPS-OIC ini, OKI juga menyusun The Protocol on Preferential Tariff Scheme for TPS-OIC (PRETAS). Produk inilah yang nantinya berisikan perpaduan tarif bea masuk atau bea keluar yang berlaku di 57 negara anggota OKI.

Namun, hingga saat ini. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum menandatangi PRETAS, apalagi meratifikasinya. "Kita (Indonesia) baru menandatangani framework (kerangka kerjanya) nya, sedangkan PRETAS-nya belum," kata Hatta.

Menurut Hatta, pihaknya akan menjelaskan pentingnya arti PRETAS dalam mendorong perdagangan Indonesia ke depan. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses ratifikasi PRETAS, maka ratifikasinya tidak akan dilakukan melalui parlemen, melainkan cukup dengan keputusan presiden.

"Tidak semua ratifikasi harus atas persetujuan DPR RI, bisa juga oleh Presiden. DPR baru diperlukan jika dampak ratifikasi itu menyebabkan pengaruh pada APBN," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar