Christoforo Colombo (lidah Barat menyebutnya “Christophorus Colombus”) merupakan anggota Knights of Christ, organisasi payung bagi pelarian Templar yang diburu para penguasa Eropa yang dipimpin Puas Clement IV dan Raja Perancis, King Felipe V, sejak tanggal 13 Oktober 1307.
Semasa mudanya, Colombus menjadi orang kepercayaan dari penguasa Italia, Rene d’Anjou yang merupakan Grandmaster Biarawan Sion. Biarawan Sion sendiri merupakan “Bapak” dari organisasi Knights Templar. Mereka inilah cikal-bakal gerakan Zionisme sekarang ini. Di dalam buku saya, “Knights Templar Knights of Christ” (2006), asal-muasal Colombus dipaparkan dengan lengkap.
Colombus menjejakkan kakinya di Amerika di akhir abad ke-15 Masehi. Lima abad sebelum Colombus tiba, para pelaut Muslim dari Granada dan Afrika Barat sudah menjejakkan kaki di daratan-benua yang masih perawan dan hanya ditinggali oleh suku-suku asli yang tersebar di beberapa bagiannya.
Imigran Muslim pertama di daratan ini tiba sekira tahun 900 Masehi sampai setengah abad kemudian pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Salah satunya bernama Khasykhasy Ibn Said Ibnu Aswad dari Cordova. Orang-orang Islam inilah yang mendakwahkan Islam pada suku-suku asli Amerika. Sejumlah suku Indian Amerika pun telah memeluk Islam saat itu antara lain suku Iroquois dan Alqonquin.
Lalu, setelah jatuhnya Granada tahun 1492, yang kemudian disusul oleh gerakan Inkuisisi yang dilakukan Gereja terhadap orang-orang Islam dan Yahudi di Spanyol, maka imigran kedua tiba di Amerika sekira pertengahan abad ke-16 Masehi. Tahun 1539, Raja Spanyol, Carlos V, melarang bagi Muslim Spanyol hijrah ke Amerika.
Menurut prasasti berbahasa Arab yang ditemukan di Mississipi Valey dan Arizona, dikatakan jika orang-orang Islam yang datang ke daratan ini juga membawa gajah dari Afrika.
Colombus sendiri datang ke Amerika lima abad kemudian. Dalam ekspedisi pertamanya, Colombus dibantu dua nakhoda Muslim bersaudara bernama Martin Alonzo Pizon yang memimpin kapal Pinta dan Vicente Yanez Pizon yang ada di kapal Nina. Kedua bersaudara ini masih kerabat dari Sultan Maroko dari Dinasti Marinid, Abuzayan Muhammad III (1362-1366).
Catatan harian Colombus menyatakan jika pada hari Senin, 21 Oktober 1492, ketika berlayar di dekat Gibara di tenggara pantai Kuba, mereka mengaku telah melihat sebuah masjid dengan menaranya yang tinggi yang berdiri di atas puncak bukit yang indah.
Doktor Barry Fell dari Oxford University juga menemukan jika berabad sebelum Colombus tiba di Amerika, sekolah-sekolah Islam sudah tersebar di banyak wilayah. Antara lain di Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe, Mesa Verde di Colorado, Hickison Summit Pass di Nevada, Mimbres Valley di Mexico, dan Tipper Canoe-Indiana. Di berbagai kota besar Amerika Serikat. Di tengah kota Los Angeles, terdapat daerah bernama Alhambra, juga nama Teluk El-Morro dan Alamitos. Juga nama-nama seperi Andalusia, Aladdin, Alla, Albani, Alameda, Almansor, Almar, Amber, Azure, dan La Habra. Semuanya nama Islam.
Di tengah Amerika, dari selatan hingga Illinois, terdapat nama-nama kota kecil seperti Albany, Atalla, Andalusia, Tullahoma, dan Lebanon. Di negara bagian Washington juga ada nama daerah Salem. Di Karibia yang juga berasal dari kata Arab, terdapat nama Jamaika dan Kuba, yang berasal dari bahasa Arab “Quba”. Ibukota Kuba, Havana juga berasal dari bahasa Arab “La Habana”.
Seorang sejarawan bernama Dr. Yousef Mroueh menghitung, di Amerika Utara ada sekurangnya 565 nama Islam pada nama kota, sungai, gunung, danau, dan desa. Di Amerika Serikat sendiri ada 484 dan di Canada ada 81.
Dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah, nama keduanya juga telah ditorehkan para pionir Muslim di tanah Amerika jauh sebelum Colombus lahir. Nama Mecca ada di Indiana, lalu Medina ada di Idaho, New York, North Dakota, Ohio, Tenesse, Texas, Ontario-Canada. Bahkan di Illinois ada kota kecil bernama Mahomet yang berasal dari nama Muhammad.
Suku-suku asli Amerika ternyata juga banyak yang berasal dari nama Arab, antara lain Suku Apache, Anasazi, Arawak, Cherokee, Arikana, Chavin Cree, Makkah, Hohokam, Hupa, Hopi, Mohigan, Mohawk, Nazca, Zulu dan Zuni. Bahkan kepala suku Indian Cherokee yang terkenal, Se-quo-yah yang menciptakan silabel huruf Indian yang disebut Cherokee Syllabari pada 1821 ternyata seorang Muslim dan senantiasa mengenakan sorban, bukan ikat kepala dari bulu burung seperti yang ada di film-film wild-west ala Hollywood.
Beberapa kepala suku Indian yang juga selalu mengenakan sorban di antaranya Sioux, Chippewa, Yuchi, Iowa, Sauk, Creek, Kansas, Miami, Potawatomi, Fox, Seminole, dan Winnebago. Foto-foto para kepala suku Indian tersebut yang bersorban saat ini masih disimpan di berbagai museum dan arsip nasional Amerika, antara lain yang ada di Philadelphia. Foto-foto itu berasal dari tahun 1835 dan 1870.
Saya yakin, bukan karena mereka sudah Islam maka Colombus datang dan membantai mereka. Tapi lebih didorong motivasi lain, yakni EMAS. Sama seperti kedatangan penjajah Eropa-Kristen ke Nusantara yang didorong 3G (Triji, bukan
dua-ji
, he he he) yaitu Gold (Emas), Glory (Kekuasaan), dan Gospel (Kejayaan Agama Kristen).
KAJIAN LAIN TENTANG ISLAM AMERIKA (SUKU CHEEROKE)
Jika Anda mengunjungi Washington DC, datanglah ke Perpustakaan Kongres (Library of Congress). Lantas, mintalah arsip perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku Cherokee, salah satu suku Indian, tahun 1787. Di sana akan ditemukan tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu, bernama AbdeKhak dan Muhammad Ibnu Abdullah.
Isi perjanjian itu antara lain adalah hak suku Cherokee untuk melangsungkan keberadaannya dalam perdagangan, perkapalan, dan bentuk pemerintahan suku cherokee yang saat itu berdasarkan hukum Islam. Lebih lanjut, akan ditemukan kebiasaan berpakaian suku Cherokee yang menutup aurat sedangkan kaum laki-lakinya memakai turban (surban) dan terusan hingga sebatas lutut.
Cara berpakaian ini dapat ditemukan dalam foto atau lukisan suku cherokee yang diambil gambarnya sebelum tahun 1832. Kepala suku terakhir Cherokee sebelum akhirnya benar-benar punah dari daratan Amerika adalah seorang Muslim bernama Ramadan Ibnu Wati.
Berbicara tentang suku Cherokee, tidak bisa lepas dari Sequoyah. Ia adalah orang asli suku cherokee yang berpendidikan dan menghidupkan kembali Syllabary suku mereka pada 1821. Syllabary adalah semacam aksara. Jika kita sekarang mengenal abjad A sampai Z, maka suku Cherokee memiliki aksara sendiri.
Yang membuatnya sangat luar biasa adalah aksara yang dihidupkan kembali oleh Sequoyah ini mirip sekali dengan aksara Arab. Bahkan, beberapa tulisan masyarakat cherokee abad ke-7 yang ditemukan terpahat pada bebatuan di Nevada sangat mirip dengan kata ”Muhammad” dalam bahasa Arab.
Nama-nama suku Indian dan kepala sukunya yang berasal dari bahasa Arab tidak hanya ditemukan pada suku Cherokee (Shar-kee), tapi juga Anasazi, Apache, Arawak, Arikana, Chavin Cree, Makkah, Hohokam, Hupa, Hopi, Mahigan, Mohawk, Nazca, Zulu, dan Zuni. Bahkan, beberapa kepala suku Indian juga mengenakan tutp kepala khas orang Islam. Mereka adalah Kepala Suku Chippewa, Creek, Iowa, Kansas, Miami, Potawatomi, Sauk, Fox, Seminole, Shawnee, Sioux, Winnebago, dan Yuchi. Hal ini ditunjukkan pada foto-foto tahun 1835 dan 1870.
Secara umum, suku-suku Indian di Amerika juga percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta. Tuhan itu tidak teraba oleh panca indera. Mereka juga meyakini, tugas utama manusia yang diciptakan Tuhan adalah untuk memuja dan menyembah-Nya. Seperti penuturan seorang Kepala Suku Ohiyesa : ”In the life of the Indian, there was only inevitable duty-the duty of prayer-the daily recognition of the Unseen and the Eternal”. Bukankah Al-Qur’an juga memberitakan bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin semata-mata untuk beribadah pada Allah (*)
Subhanallah….
Bagaimana bisa Kepala suku Indian Cheeroke itu muslim?
Sejarahnya panjang,
Semangat orang-orang Islam dan Cina saat itu untuk mengenal lebih jauh planet (tentunya saat itu nama planet belum terdengar) tempat tinggalnya selain untuk melebarkan pengaruh, mencari jalur perdagangan baru dan tentu saja memperluas dakwah Islam mendorong beberapa pemberani di antara mereka untuk melintasi area yang masih dianggap gelap dalam peta-peta mereka saat itu.
Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai saat ini bahkan hampir semua orang pernah mendengarnya sebut saja Tjeng Ho dan Ibnu Batutta, namun beberapa lagi hampir-hampir tidak terdengar dan hanya tercatat pada buku-buku akademis.
Para ahli geografi dan intelektual dari kalangan muslim yang mencatat perjalanan ke benua Amerika itu adalah Abul-Hassan Ali Ibn Al Hussain Al Masudi (meninggal tahun 957), Al Idrisi (meninggal tahun 1166), Chihab Addin Abul Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) dan Ibn Battuta (meninggal tahun 1369).
Menurut catatan ahli sejarah dan ahli geografi muslim Al Masudi (871 – 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke benua Amerika pada tahun 889 Masehi. Dalam bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab wa Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), Al Masudi melaporkan bahwa semasa pemerintahan Khalifah Spanyol Abdullah Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad berlayar dari Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhoola, dan kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Sesudah itu banyak pelayaran yang dilakukan mengunjungi daratan di seberang Lautan Atlantik, yang gelap dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis buku ‘Akhbar Az Zaman’ yang memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan para pedagang ke Afrika dan Asia.
Dr. Youssef Mroueh juga menulis bahwa selama pemerintahan Khalifah Abdul Rahman III (tahun 929-961) dari dinasti Umayah, tercatat adanya orang-orang Islam dari Afrika yang berlayar juga dari pelabuhan Delba (Palos) di Spanyol ke barat menuju ke lautan lepas yang gelap dan berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil kembali dengan membawa barang-barang bernilai yang diperolehnya dari tanah yang asing.
Beliau juga menuliskan menurut catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009) seorang navigator dari Granada bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkan pelabuhan Kadesh pada bulan Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando (Kepulaun Canary).
Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada bulan Mei 999.
Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 – 1307) raja keenam dalam dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam.
Sultan-sultan dari kerajaan Mali di Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) memerinci eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan yang tercatat melanglang buana hingga ke benua baru saat itu adalah Sultan Abu Bakari I (1285 – 1312), saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa (1312 – 1337), yang telah melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan Atlantik hingga ke Amerika dan bahkan menyusuri sungai Mississippi.
Sultan Abu Bakari I melakukan eksplorasi di Amerika tengah dan utara dengan menyusuri sungai Mississippi antara tahun 1309-1312. Para eksplorer ini berbahasa Arab. Dua abad kemudian, penemuan benua Amerika diabadikan dalam peta berwarna Piri Re’isi yang dibuat tahun 1513, dan dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I tahun 1517. Peta ini menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika selatan dan bahkan benua Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil secara cukup akurat.
Sequoyah, also known as George Gist Bukti lainnya adalah, Columbus sendiri mengetahui bahwa orang-orang Carib (Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia faham bahwa orang-orang Islam telah berada di sana terutama orang-orang dari Pantai Barat Afrika. Mereka mendiami Karibia, Amerika Utara dan Selatan. Namun tidak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika. Orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan beberapa menikahi orang-orang pribumi.
Lebih lanjut Columbus mengakui pada 21 Oktober 1492 dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba melihat sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya menurut sumber tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Dan tahukah anda? 2 orang nahkoda kapal yang dipimpin oleh Columbus kapten kapal Pinta dan Nina adalah orang-orang muslim yaitu dua bersaudara Martin Alonso Pinzon dan Vicente Yanex Pinzon yang masih keluarga dari Sultan Maroko Abuzayan Muhammad III (1362). [THACHER,JOHN BOYD: Christopher Columbus, New York 1950]
Dan mengapa hanya Columbus saja yang sampai saat ini dikenal sebagai penemu benua amerika? Karena saat terjadi pengusiran kaum yahudi dari spanyol sebanyak 300.000 orang yahudi oleh raja Ferdinand yang Kristen, kemudian orang-orang yahudi menggalang dana untuk pelayaran Columbus dan berita ‘penemuan benua Amerika’ dikirim pertama kali oleh Christopher Columbus kepada kawan-kawannya orang Yahudi di Spanyol.
Pelayaran Columbus ini nampaknya haus publikasi dan diperlukan untuk menciptakan legenda sesuai dengan ‘pesan sponsor’ Yahudi sang penyandang dana. Kisah selanjutnya kita tahu bahwa media massa dan publikasi dikuasai oleh orang-orang Yahudi yang bahkan dibenci oleh orang-orang seperti Henry Ford si raja mobil Amerika itu.
Maka tampak ada ketidak-jujuran dalam menuliskan fakta sejarah tentang penemuan benua Amerika. Penyelewengan sejarah oleh orang-orang Yahudi yang terjadi sejak pertama kali mereka bersama-sama orang Eropa menjejakkan kaki ke benua Amerika.
Dan tahukah anda? sebenarnya laksam ana Zheng He atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama laksamana Cheng Ho adalah penemu benua amerika pertama, sekitar 70 tahun sebelum Columbus.
Sekitar 70 tahun sebelum Columbus menancapkan benderanya di daratan Amerika, Laksamana Zheng He sudah lebih dulu datang ke sana. Para peserta seminar yang diselenggarakan oleh Royal Geographical Society di London beberapa waktu lalu dibuat terperangah. Adalah seorang ahli kapal selam dan sejarawan bernama Gavin Menzies dengan paparannya dan lantas mendapat perhatian besar.
Tampil penuh percaya diri, Menzies menjelaskan teorinya tentang pelayaran terkenal dari pelaut mahsyur asal Cina, Laksamana Zheng He (kita mengenalnya dengan Ceng Ho-red). Bersama bukti-bukti yang ditemukan dari catatan sejarah, dia lantas berkesimpulan bahwa pelaut serta navigator ulung dari masa dinasti Ming itu adalah penemu awal benua Amerika, dan bukannya Columbus.
Bahkan menurutnya, Zheng He ‘mengalahkan’ Columbus dengan rentang waktu sekitar 70 tahun. Apa yang dikemukakan Menzies tentu membuat kehebohan lantaran masyarakat dunia selama ini mengetahui bahwa Columbus-lah si penemu benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Pernyataan Menzies ini dikuatkan dengan sejumlah bukti sejarah.
Adalah sebuah peta buatan masa sebelum Columbus memulai ekspedisinya lengkap dengan gambar benua Amerika serta sebuah peta astronomi milik Zheng He yang dosodorkannya sebagai barang bukti itu. Menzies menjadi sangat yakin setelah meneliti akurasi benda-benda bersejarah itu.
Cherokee syllabary”Laksana inilah yang semestinya dianugerahi gelar sebagai penemu pertama benua Amerika,” ujarnya. Menzies melakukan kajian selama lebih dari 14 tahun. Ini termasuk penelitian peta-peta kuno, bukti artefak dan juga pengembangan dari teknologi astronomi modern seperti melalui program software Starry Night.
Dari bukti-bukti kunci yang bisa mengubah alur sejarah ini, Menzies mengatakan bahwa sebagian besar peta maupun tulisan navigasi Cina kuno bersumber pada masa pelayaran Laksamana Zheng He. Penjelajahannya hingga mencapai benua Amerika mengambil waktu antara tahun 1421 dan 1423. Sebelumnya armada kapal Zheng He berlayar menyusuri jalur selatan melewati Afrika dan sampai ke Amerika Selatan.
Uraian astronomi pelayaran Zheng He kira-kira menyebut, pada larut malam saat terlihat bintang selatan sekitar tanggal 18 Maret 1421, lokasi berada di ujung selatan Amerika Selatan. Hal tersebut kemudian direkonstruksi ulang menggunakan software Starry Night dengan membandingkan peta pelayaran Zheng He.
“Saya memprogram Starry Night hingga masa di tahun 1421 serta bagian dunia yang diperkirakan pernah dilayari ekspedisi tersebut,” ungkap Menzies yang juga ahli navigasi dan mantan komandan kapal selam angkatan laut Inggris ini. Dari sini, dia akhirnya menemukan dua lokasi berbeda dari pelayaran ini berkat catatan astronomi (bintang) ekspedisi Zheng He.
Lantas terjadi pergerakan pada bintang-bintang ini, sesuai perputaran serta orientasi bumi di angkasa. Akibat perputaran bumi yang kurang sempurna membuat sumbu bumi seolah mengukir lingkaran di angkasa setiap 26 ribu tahun. Fenomena ini, yang disebut presisi, berarti tiap titik kutub membidik bintang berbeda selama waktu berjalan. Menzies menggunakan software untuk merekonstruksi posisi bintang-bintang seperti pada masa tahun 1421.
“Kita sudah memiliki peta bintang Cina kuno namun masih membutuhkan penanggalan petanya,” kata Menzies. Saat sedang bingung memikirkan masalah ini, tiba-tiba ditemukanlah pemecahannya. “Dengan kemujuran luar biasa, salah satu dari tujuan yang mereka lalui, yakni antara Sumatra dan Dondra Head, Srilanka, mengarah ke barat.”
Bagian dari pelayaran tersebut rupanya sangat dekat dengan garis katulistiwa di Samudera Hindia. Adapun Polaris, sang bintang utara, dan bintang selatan Canopus, yang dekat dengan lintang kutub selatan, tercantum dalam peta. “Dari situ, kita berhasil menentukan arah dan letak Polaris. Sehingga selanjutnya kita bisa memastikan masa dari peta itu yakni tahun 1421, plus dan minus 30 tahun.”
Sequoyah Atas temuan tersebut, Phillip Sadler, pakar navigasi dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics, mengatakan perkiraan dengan menggunakan peta kuno berdasarkan posisi bintang amatlah dimungkinkan. Dia juga sepakat bahwa estimasi waktu 30 tahun, seperti dalam pandangan Menzies, juga masuk akal.
Selama ini, masyarakat dunia mengetahui kiprah Zheng He sebagai penjelajah ulung. Dia terlahir di Kunyang, kota yang berada di sebelah barat daya Propinsi Yunan, pada tahun 1371. Keluarganya yang bernama Ma, adalah bagian dari warga minoritas Semur. Mereka berasal dari kawasan Asia Tengah serta menganut agama Islam.
Ayah dan kakek Zheng He diketahui pernah mengadakan perjalanan haji ke Tanah Suci Makkah. Sementara Zheng He sendiri tumbuh besar dengan banyak mengadakan perjalanan ke sejumlah wilayah. Ia adalah Muslim yang taat.
Yunan adalah salah satu wilayah terakhir pertahanan bangsa Mongol, yang sudah ada jauh sebelum masa dinasti Ming. Pada saat pasukan Ming menguasai Yunan tahun 1382, Zheng He turut ditawan dan dibawa ke Nanjing. Ketika itu dia masih berusia 11 tahun.
Zheng He pun dijadikan sebagai pelayan putra mahkota yang nantinya menjadi kaisar bernama Yong Le. Nah kaisar inilah yang memberi nama Zheng He hingga akhirnya dia menjadi salah satu panglima laut paling termashyur di dunia.
BELANDA MERDEKA BERKAT ISLAM MELAWAN PENJAJAH SPANYOL
RADAR JAMBI
Belanda terkenal dengan sikap ‘anti Islam’. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kasus pelecehan terhadap Islam dan Rasulullah Muhammad SAW. Tindak pelecehan bukan hanya dilakukan oleh masyarakatnya namun pemerintah Belanda juga seolah-olah ‘merestui’ tindakan tersebut karena tidak ada tindakan tegas. Bahkan justru berlindung dibalik ‘kebebasan berpendapat’. Kenapa masyarakat Belanda mempunyai sikap seperti itu? Apakah selama ini Belanda tidak ada hubungan dengan Islam sehingga seolah-olah tidak mengenal Islam sama sekali? Untuk menjawab pertanyaan di atas, redaksi alwaie (Rusydan dan gus uwik) mewawancara Idries De Vries, aktivis Islam dari Belanda. Berikut petikannya.
Negeri Belanda dikenal sebagai negeri yang mentoleransi sikap “anti-islam”. Bagaimana reaksi muslim di negerimu terhadap pelecehan atas Nabi Muhammad (seperti kasus kartun Denmark dan ‘Fi tnah’nya Geert Wilder)? Apakah sikap ‘anti-Islam’ adalah sudut pandang yang umum ditemukan pada masyarakat Belanda? Benar. Selama bertahun-tahun terakhir sentimen publik Belanda terhadap Islam cenderung negatif. Sentimen semacam ini timbul di saat kebangkitan Islam global mulai mempengaruhi muslim di Belanda juga. Sepe rti diketahui, sentimen yang membentuk opini publik adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh mereka yang berpengaruh dan yang juga memiliki kontrol terhadap media massa populer. Penjelasan mengenai mengapa sentimen anti Islam begitu kental terasa di Belanda memerlukan penjelasan yang lebih mendalam tentang l atar belakangnya.
Tanpa diketahui banyak orang, awal hubungan antara Belanda dengan Islam/Dunia Islam dapat dilacak hingga berabad-abad yang lalu. Misalnya, selama 80 tahun perang kemerdekaan Belanda dari dominasi Spanyol di abad ke 15 dan 16, Belanda secara aktif mencari dukungan dari Khalifah di Istanbul. Pemimpin resistensi Belanda, Raja William I ‘Oranye’ mencari sokongan dana dan persenjataan dari Khalifah, yangk akhirnya dikabulkan. Khalifah mendukung pemberontakan Belanda dengan dana, dan angkatan lautnya menyerang armada kapal perang Spanyol di Laut Mediterania untuk membantu melepas tekanan Spanyol terhadap Belanda. Setelah mencapai kemerdekaanya, Belanda diundang untuk membuka kedutaan di negara Khilafah, yang dibuka di tahun 1612. Cornelis Haga adalah duta besar Belanda pertama pada masa pemerintahan Khalifa Ahmed I (1603-1617). Karena kerjasama Khalifah dalam Perang Kemerdekaan Belanda, Belanda menjalin kerjasama perdagangan dengan umat Islam. Mereka membuka kantor konsuler di berbagai kota pela buhan di kawasan Mediterania, termasuk membuka daerah komunitas Belanda di kota Smyrna (Izmir) dalam wilayah kekuasaan Khilafah Uthmani. Di daerah tersebut, warga Belanda diberi kebebasan beragama dan mendirikan gereja dan membangun pemakaman disamping juga rumah sakit, tempat pembuatan roti, dan bahkan kedai bar. Duta besar Belanda untuk Indonesia saat ini, Nicolaos van Dam bahkan menulis buku tentang relasi Belanda dengan Khilafah Uthmani dalam bukunya “Belanda dan Dunia Arab: Dari Abad Pertengahan menuju Abad ke 21.”
Salah satu konsekuensi dari hubungan dagang yang dilakukan melalui laut adalah terlibatnya banyak pelayar Belanda yang ikut mengabdi dalam Angkatan Laut Khilafah Islam. Contohnya adalah Jan Janszoon van Haarlem dan Ivan Dirkie de Veenboer, yang kemudian ber ganti nama sebagai Murat Reis dan Suleyman Reis setelah mereka memeluk Islam. Maka sejak abad 17 dan 18 sudah ada beberapa warga Belanda yang telah masuk Islam .
Bermula dari hubungan ini juga , banyak warga Belanda yang kemudian mempelajari Islam dan juga bahasa yang digunakan oleh umat Islam. Di tahun 1575, Universitas Leiden membuka Fakultas Bahasa ‘Orient’ (kawasan Asia Timur) untuk membekali warga Belanda dengan kemampuan bahasa seperti bahasa Arab, Turki, dan Persia, serta juga pengetahuan tentang Islam. Bidang studi ‘Orient’ ini dimulai untuk mendukung hubungan perdagangan dengan umat Islam. Namun sejak turunnya pamor intelektual serta pengaruh Khilafah Islam terhadap dunia, studi tentang Islam dan bahasa umat Islam di Belanda mulai berpindah arah dan tujuan.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, pengetahuan yang dimiliki Belanda tentang Islam dan Bahasa para pemeluknya digunakan untuk mendukung upaya penundukan umat Islam dan penjarahan sumber daya alamnya. Hal ini sungguh menjadi ironi tersendiri dan kejahatan terburuk dalam sejarah peradaban. Belanda memulai untuk belajar tentang Islam karena kaum muslim telah membantu mereka ketika mereka tertindas oleh Spanyol, menawarkan perdagangan, dan menerima mereka dengan persahabatan di wilayah kekuasaan mereka. Setelah terbebasnya kota Leiden di Belanda dari pendudukan Spanyol, suatu Universitas dibangun diatasnya sebagai monumen kemenangan dan di kampus inilah studi Bahasa Orient berkembang pesat. Namun ketika Muslim mulai menurun pengaruhnya, pengetahuan yang dibina di kampus Universitas Leiden justru digunakan untuk menundukkan dan menjajah umat muslim yang sama yang sebelumnya telah membantu Belanda, memberi perlakuan istemewa dalam perdagangan dan memperlakukannya dengan hormat.
Selama masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia, Universitas Leiden pun berkembang sebagai pusat studi tentang Islam yang difungsikan untuk menguasai penduduk muslim Indonesia. Ilmu yang awalnya dikembangkan di Universitas Leiden sebagai ilmu pengetahuan yang bernilai positif (dengan tujuan membangun relasi yang baik dengan umat Islam) mulai bergeser menuju perkembangan ilmu yang bernilai negatif (dengan tujuan melanggengkan dominasi Belanda terhadap muslim Indonesia). Lulusan Universitas Leiden pun adalah sarjana barat yang mendalami Islam (yang juga dikenal sebagai ‘Orientalis’), yang juga menyimpan kesinisan terhadap Islam dan Muslim. Mereka ini terlibat dalam administrasi penjajahan Belanda di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Profesor Christiaan Snouck Hurgronje yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia pada abad ke 19 untuk menyamar sebagai ulama dengan nama Abd al Ghaffar, sehingga mampu menyesatkan umat muslim dengan menggunakan ilmu tentang Islam. Ia memberikan berbagai strategi kepada pemerintahan Belanda dalam upaya menundukkan umat Islam, contohnya, pemerintah selayaknya tidak mencampuri urusan ritual seperti Sholat dan Puasa. Akan tetapi, pemerintah harus tegas membasmi mereka yang mempraktikkan Islam Politik.
Meskipun sejarah Belanda yang berhubungan dengan Muslim dan Islam telah berlangsung lama dan menghasilkan berbagai pengetahuan tentang Islam, warga Belanda biasa pada umumnya masih tidak banyak mengerti Islam secara benar. Pengetahuan tentang Islam yang berumur tidak kurang dari 300 tahun tidak mudah diakses oleh orang biasa dan hanya bisa dikuasai oleh kalangan elit saja di Universitas Leiden. Contohnya, perpustakaan universitas Leiden menyimpan informasi khusus tentang Islam tapi tidak boleh dipelajari oleh orang biasa.
Maka maraknya opini anti Islam di Belanda akhir-akhir ini terjadi karena kombinasi antara ketidaktahuan masyarakat Belanda tentang Islam dan mentalitas para akademisi yang tidak mempelajari Islam untuk mencari kebenaran atau untuk menumbuhkan hubungan yang baik dengan umat Islam.
Setelah menikmati masa keemasan saat berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda, pamor Universitas Leiden sebagai pusat studi Islam sempat menurun. Namun akhir-akhir ini ketika umat Islam mulai terbangkitkan intelektualnya, mendekatkan diri mereka kembali ke Allah swt dengan rajin beribadah dan melaksanakan sunnah Nabi Muhammad, kalangan akademisi Orientalis Universitas Leiden kembali menemukan kesempatan untuk mengulang masa keemasan mereka. Para akademisi tersebut digunakan oleh elit pemerintahan Barat dan juga oleh mereka yang memiliki tendensi kepentingan kapitalistik untuk membendung laju kebangkitan Islam dan menggagalkan aspirasi penegakan kembali Negara Islam dan implementasi sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Para orientalis ini menggunakan ilmunya tentang Islam untuk mengaburkan realita Islam yang sebenarnya. Mereka berharap mereka mampu menjauhkan muslim dari Islam. Atau, setidaknya, muslim terisolasi dari pemahaman Islam yang benar bahwa satu-satunya solusi terhadap semua permasalahan hidup adalah sistem yang diturunkan oleh ALLAH swt. Mereka juga berharap agar kaum non muslim juga menjadi takut dan khawatir terhadap Islam dan muslim. Dengan demikian, mereka bisa menggunakan non muslim untuk menekan atau memaksa umat muslim di Belanda untuk meninggalkan agamanya atau menjalani kehidupan beragama di sana dengan penuh kesulitan.
Para orientalis dan kalangan elit Belanda telah berhasil menanamkan rasa takut terhadap Muslim dan Islam di dalam masyarakat non muslim di sana. Ketakutan ini bahkan sudah mencapai ke tingkat kebencian dimana masyarakat tidak lagi segan untuk mendukung secara terbuka politisi yang menkampanyekan untuk mengambil hak-hak muslim, menutup masjid, dan memaksa muslim untuk mengikuti gaya hidup Barat dan menerima ide Barat sebagai ide baik, serta melarang keyakinan Muslim yang mentaati Allah swt dalam segala bidang kehidupan.
Maka, jawaban dari pertanyaan tadi adalah memang benar bahwa masyarakat Belanda saat ini memang memiliki sentimen anti Islam. Hal ini memang bisa dipahami karena kalangan yang berpengaruh dalam pembentukan opini publik memiliki agenda untuk menyebarluaskan sentimen anti-islam. Opini yang tersebar umum inilah yang diambil oleh mayoritas anggota masyarakat sebagai bagian dari opini mereka masing-masing.
Kendati demikian, usaha para orientalis dan para elit petingginya dalam menekan umat Islam di Belanda menemui banyak sekali kendala. Alhamdulillah, serangan anti Islam yang datang bertubi-tubi, yang menyerang Nabi Muhammad Saw khususnya, dan umat Islam umumnya, justru membuat umat Islam semakin dekat kepada Islam itu sendiri. Dalam banyak peristiwa, muslim di Belanda merapatkan barisannya ketika menghadapi celaan terhadap agamanya. Contohnya, sebagai tanggapan terhadap film Fitna, kaum muda Hizbut Tahrir menyeru umat Islam untuk mengumpulkan petisi yang mengecam pelecehan terhadap Islam. Dalam beberapa minggu saja, aktivis Hizbut Tahrir telah mengumpulkan 35.000 tandatangan dari seluruh pelosok Belanda. Sungguh luarbiasa, karena jumlah tandatangan dalam petisi tersebut adalah jumlah terbesar dalam sejarah pengumpulan petisi di Belanda! Dimana-mana, aktivis pemuda Hizbut Tahrir disambut oleh umat Islam di berbagai masjid di Belanda yang menyatakan apresiasinya dan rasa terima kasih atas usaha yang mereka lakukan. Bahkan banyak diantara warga muslim yang menawarkan para aktivis Hizbut Tahrir sejumlah dana yang besar untuk melakukan kegiatan protes, namun Alhamdulillah hal itu ditolak oleh para aktivis.
Belanda terkenal dengan sikap ‘anti Islam’. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kasus pelecehan terhadap Islam dan Rasulullah Muhammad SAW. Tindak pelecehan bukan hanya dilakukan oleh masyarakatnya namun pemerintah Belanda juga seolah-olah ‘merestui’ tindakan tersebut karena tidak ada tindakan tegas. Bahkan justru berlindung dibalik ‘kebebasan berpendapat’. Kenapa masyarakat Belanda mempunyai sikap seperti itu? Apakah selama ini Belanda tidak ada hubungan dengan Islam sehingga seolah-olah tidak mengenal Islam sama sekali? Untuk menjawab pertanyaan di atas, redaksi alwaie (Rusydan dan gus uwik) mewawancara Idries De Vries, aktivis Islam dari Belanda. Berikut petikannya.
Negeri Belanda dikenal sebagai negeri yang mentoleransi sikap “anti-islam”. Bagaimana reaksi muslim di negerimu terhadap pelecehan atas Nabi Muhammad (seperti kasus kartun Denmark dan ‘Fi tnah’nya Geert Wilder)? Apakah sikap ‘anti-Islam’ adalah sudut pandang yang umum ditemukan pada masyarakat Belanda? Benar. Selama bertahun-tahun terakhir sentimen publik Belanda terhadap Islam cenderung negatif. Sentimen semacam ini timbul di saat kebangkitan Islam global mulai mempengaruhi muslim di Belanda juga. Sepe rti diketahui, sentimen yang membentuk opini publik adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh mereka yang berpengaruh dan yang juga memiliki kontrol terhadap media massa populer. Penjelasan mengenai mengapa sentimen anti Islam begitu kental terasa di Belanda memerlukan penjelasan yang lebih mendalam tentang l atar belakangnya.
Tanpa diketahui banyak orang, awal hubungan antara Belanda dengan Islam/Dunia Islam dapat dilacak hingga berabad-abad yang lalu. Misalnya, selama 80 tahun perang kemerdekaan Belanda dari dominasi Spanyol di abad ke 15 dan 16, Belanda secara aktif mencari dukungan dari Khalifah di Istanbul. Pemimpin resistensi Belanda, Raja William I ‘Oranye’ mencari sokongan dana dan persenjataan dari Khalifah, yangk akhirnya dikabulkan. Khalifah mendukung pemberontakan Belanda dengan dana, dan angkatan lautnya menyerang armada kapal perang Spanyol di Laut Mediterania untuk membantu melepas tekanan Spanyol terhadap Belanda. Setelah mencapai kemerdekaanya, Belanda diundang untuk membuka kedutaan di negara Khilafah, yang dibuka di tahun 1612. Cornelis Haga adalah duta besar Belanda pertama pada masa pemerintahan Khalifa Ahmed I (1603-1617). Karena kerjasama Khalifah dalam Perang Kemerdekaan Belanda, Belanda menjalin kerjasama perdagangan dengan umat Islam. Mereka membuka kantor konsuler di berbagai kota pela buhan di kawasan Mediterania, termasuk membuka daerah komunitas Belanda di kota Smyrna (Izmir) dalam wilayah kekuasaan Khilafah Uthmani. Di daerah tersebut, warga Belanda diberi kebebasan beragama dan mendirikan gereja dan membangun pemakaman disamping juga rumah sakit, tempat pembuatan roti, dan bahkan kedai bar. Duta besar Belanda untuk Indonesia saat ini, Nicolaos van Dam bahkan menulis buku tentang relasi Belanda dengan Khilafah Uthmani dalam bukunya “Belanda dan Dunia Arab: Dari Abad Pertengahan menuju Abad ke 21.”
Salah satu konsekuensi dari hubungan dagang yang dilakukan melalui laut adalah terlibatnya banyak pelayar Belanda yang ikut mengabdi dalam Angkatan Laut Khilafah Islam. Contohnya adalah Jan Janszoon van Haarlem dan Ivan Dirkie de Veenboer, yang kemudian ber ganti nama sebagai Murat Reis dan Suleyman Reis setelah mereka memeluk Islam. Maka sejak abad 17 dan 18 sudah ada beberapa warga Belanda yang telah masuk Islam .
Bermula dari hubungan ini juga , banyak warga Belanda yang kemudian mempelajari Islam dan juga bahasa yang digunakan oleh umat Islam. Di tahun 1575, Universitas Leiden membuka Fakultas Bahasa ‘Orient’ (kawasan Asia Timur) untuk membekali warga Belanda dengan kemampuan bahasa seperti bahasa Arab, Turki, dan Persia, serta juga pengetahuan tentang Islam. Bidang studi ‘Orient’ ini dimulai untuk mendukung hubungan perdagangan dengan umat Islam. Namun sejak turunnya pamor intelektual serta pengaruh Khilafah Islam terhadap dunia, studi tentang Islam dan bahasa umat Islam di Belanda mulai berpindah arah dan tujuan.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, pengetahuan yang dimiliki Belanda tentang Islam dan Bahasa para pemeluknya digunakan untuk mendukung upaya penundukan umat Islam dan penjarahan sumber daya alamnya. Hal ini sungguh menjadi ironi tersendiri dan kejahatan terburuk dalam sejarah peradaban. Belanda memulai untuk belajar tentang Islam karena kaum muslim telah membantu mereka ketika mereka tertindas oleh Spanyol, menawarkan perdagangan, dan menerima mereka dengan persahabatan di wilayah kekuasaan mereka. Setelah terbebasnya kota Leiden di Belanda dari pendudukan Spanyol, suatu Universitas dibangun diatasnya sebagai monumen kemenangan dan di kampus inilah studi Bahasa Orient berkembang pesat. Namun ketika Muslim mulai menurun pengaruhnya, pengetahuan yang dibina di kampus Universitas Leiden justru digunakan untuk menundukkan dan menjajah umat muslim yang sama yang sebelumnya telah membantu Belanda, memberi perlakuan istemewa dalam perdagangan dan memperlakukannya dengan hormat.
Selama masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia, Universitas Leiden pun berkembang sebagai pusat studi tentang Islam yang difungsikan untuk menguasai penduduk muslim Indonesia. Ilmu yang awalnya dikembangkan di Universitas Leiden sebagai ilmu pengetahuan yang bernilai positif (dengan tujuan membangun relasi yang baik dengan umat Islam) mulai bergeser menuju perkembangan ilmu yang bernilai negatif (dengan tujuan melanggengkan dominasi Belanda terhadap muslim Indonesia). Lulusan Universitas Leiden pun adalah sarjana barat yang mendalami Islam (yang juga dikenal sebagai ‘Orientalis’), yang juga menyimpan kesinisan terhadap Islam dan Muslim. Mereka ini terlibat dalam administrasi penjajahan Belanda di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Profesor Christiaan Snouck Hurgronje yang ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia pada abad ke 19 untuk menyamar sebagai ulama dengan nama Abd al Ghaffar, sehingga mampu menyesatkan umat muslim dengan menggunakan ilmu tentang Islam. Ia memberikan berbagai strategi kepada pemerintahan Belanda dalam upaya menundukkan umat Islam, contohnya, pemerintah selayaknya tidak mencampuri urusan ritual seperti Sholat dan Puasa. Akan tetapi, pemerintah harus tegas membasmi mereka yang mempraktikkan Islam Politik.
Meskipun sejarah Belanda yang berhubungan dengan Muslim dan Islam telah berlangsung lama dan menghasilkan berbagai pengetahuan tentang Islam, warga Belanda biasa pada umumnya masih tidak banyak mengerti Islam secara benar. Pengetahuan tentang Islam yang berumur tidak kurang dari 300 tahun tidak mudah diakses oleh orang biasa dan hanya bisa dikuasai oleh kalangan elit saja di Universitas Leiden. Contohnya, perpustakaan universitas Leiden menyimpan informasi khusus tentang Islam tapi tidak boleh dipelajari oleh orang biasa.
Maka maraknya opini anti Islam di Belanda akhir-akhir ini terjadi karena kombinasi antara ketidaktahuan masyarakat Belanda tentang Islam dan mentalitas para akademisi yang tidak mempelajari Islam untuk mencari kebenaran atau untuk menumbuhkan hubungan yang baik dengan umat Islam.
Setelah menikmati masa keemasan saat berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda, pamor Universitas Leiden sebagai pusat studi Islam sempat menurun. Namun akhir-akhir ini ketika umat Islam mulai terbangkitkan intelektualnya, mendekatkan diri mereka kembali ke Allah swt dengan rajin beribadah dan melaksanakan sunnah Nabi Muhammad, kalangan akademisi Orientalis Universitas Leiden kembali menemukan kesempatan untuk mengulang masa keemasan mereka. Para akademisi tersebut digunakan oleh elit pemerintahan Barat dan juga oleh mereka yang memiliki tendensi kepentingan kapitalistik untuk membendung laju kebangkitan Islam dan menggagalkan aspirasi penegakan kembali Negara Islam dan implementasi sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Para orientalis ini menggunakan ilmunya tentang Islam untuk mengaburkan realita Islam yang sebenarnya. Mereka berharap mereka mampu menjauhkan muslim dari Islam. Atau, setidaknya, muslim terisolasi dari pemahaman Islam yang benar bahwa satu-satunya solusi terhadap semua permasalahan hidup adalah sistem yang diturunkan oleh ALLAH swt. Mereka juga berharap agar kaum non muslim juga menjadi takut dan khawatir terhadap Islam dan muslim. Dengan demikian, mereka bisa menggunakan non muslim untuk menekan atau memaksa umat muslim di Belanda untuk meninggalkan agamanya atau menjalani kehidupan beragama di sana dengan penuh kesulitan.
Para orientalis dan kalangan elit Belanda telah berhasil menanamkan rasa takut terhadap Muslim dan Islam di dalam masyarakat non muslim di sana. Ketakutan ini bahkan sudah mencapai ke tingkat kebencian dimana masyarakat tidak lagi segan untuk mendukung secara terbuka politisi yang menkampanyekan untuk mengambil hak-hak muslim, menutup masjid, dan memaksa muslim untuk mengikuti gaya hidup Barat dan menerima ide Barat sebagai ide baik, serta melarang keyakinan Muslim yang mentaati Allah swt dalam segala bidang kehidupan.
Maka, jawaban dari pertanyaan tadi adalah memang benar bahwa masyarakat Belanda saat ini memang memiliki sentimen anti Islam. Hal ini memang bisa dipahami karena kalangan yang berpengaruh dalam pembentukan opini publik memiliki agenda untuk menyebarluaskan sentimen anti-islam. Opini yang tersebar umum inilah yang diambil oleh mayoritas anggota masyarakat sebagai bagian dari opini mereka masing-masing.
Kendati demikian, usaha para orientalis dan para elit petingginya dalam menekan umat Islam di Belanda menemui banyak sekali kendala. Alhamdulillah, serangan anti Islam yang datang bertubi-tubi, yang menyerang Nabi Muhammad Saw khususnya, dan umat Islam umumnya, justru membuat umat Islam semakin dekat kepada Islam itu sendiri. Dalam banyak peristiwa, muslim di Belanda merapatkan barisannya ketika menghadapi celaan terhadap agamanya. Contohnya, sebagai tanggapan terhadap film Fitna, kaum muda Hizbut Tahrir menyeru umat Islam untuk mengumpulkan petisi yang mengecam pelecehan terhadap Islam. Dalam beberapa minggu saja, aktivis Hizbut Tahrir telah mengumpulkan 35.000 tandatangan dari seluruh pelosok Belanda. Sungguh luarbiasa, karena jumlah tandatangan dalam petisi tersebut adalah jumlah terbesar dalam sejarah pengumpulan petisi di Belanda! Dimana-mana, aktivis pemuda Hizbut Tahrir disambut oleh umat Islam di berbagai masjid di Belanda yang menyatakan apresiasinya dan rasa terima kasih atas usaha yang mereka lakukan. Bahkan banyak diantara warga muslim yang menawarkan para aktivis Hizbut Tahrir sejumlah dana yang besar untuk melakukan kegiatan protes, namun Alhamdulillah hal itu ditolak oleh para aktivis.
''KESALAHAN TENTANG PERSEPSI ISLAM INDONESIA ABAD KE 14''
RADAR JAMBI sumber
Muslims leaving Islam -
Tip of the Iceberg
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.(asal)http://inmistery.blogspot.com/2010/04/islam-masuk-ke-nusantara-saat.html
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,
” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.
Muslims leaving Islam -
Tip of the Iceberg
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam?
Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.(asal)http://inmistery.blogspot.com/2010/04/islam-masuk-ke-nusantara-saat.html
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.
Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.
Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,
” ujar Mansyur yakin.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).
Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar