Luar biasa siksaan yang dialami Sumiati binti Salan Mustapa, tenaga kerja yang bekerja di Madinah, Arab Saudi.
Tubuhnya mengalami luka bakar di beberapa titik. Kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. Dan yang lebih parah, bibir bagian atasnya hilang. Diduga, luka-luka di sekujur tubuhnya adalah akibat siksaan majikannya.
Soal Sumiati, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa mengatakan Kementerian Luar Negeri sedang keras untuk menunjukkan kepedulian dan keberpihakan pada perempuan malang itu.
Semalam, tambah dia, pejabat konsulat jenderal Indonesia sudah menjenguk dan melihat langsung kondisi Sumiati.
"Kondisinya itu digambarkan oleh pihak medis stabil namun tentu beliau mengalami penganiayaan yang sangat luar biasa sifatnya. Dan bukan saja secara fisik, melainkan juga ada cedera dalam," kata Marty di Kantor Kepresidenan, Selasa 16 November 2010.
Konsulat, tambah dia, juga telah menunjuk seorang dokter untuk mendampingi Sumiati. Dokter tersebut berkewarganegaraan Indonesia dan sudah berpraktek di Arab selama 5 tahun.
"Sekarang fokus kita adalah segera memperoleh medical record kondisi beliau. Bukan saja untuk perawatan melainkan juga adalah untuk proses hukum selanjutnya," kata dia.
Pejabat Deplu juga sudah berangkat ke Mataram untuk menjemput paman Sumiati, sebagai perwakilan keluarga. "Bahkan paspor sudah siap sudah mereka tinggal berangkat menuju Saudi untuk memberikan dukungan kepada Ibu Sumiati dalam situasi ini."
Bagaimana respon pemerintah Arab Saudi?
"Kita sudah menyampaikan sikap mengecam apa yang telah terjadi. Dan perlu digarisbawahi di sini pemerintah Saudi juga mengecam dan juga menganggap ini tindakan yang tidak patut yang melanggar peri kemanusiaan," kata Marty.
"Dan bersama kita untuk memastikan bahwa pihak yang melakukan ini dihukum ." Saat ini pelaku sedang diproses pihak kepolisian.
Yang tak kalah penting, tambah Marty, adalah memastikan situasi serupa tak berulang lagi di masa depan.
MENGINGAT KEJADIAN YANG LAINNYA:
Nirmala Bonat
Kasus Nirmala mendominasi pemberitaan media baik di Malaysia maupun di Indonesia waktu itu. Koran di Malaysia sendiri menyebut ini sebagai salah satu kasus yang yang paling brutal yang menimpa tenaga kerja asal Indonesia. Pengadilan Kuala Lumpur menjatuhkan hukuman pidana 18 tahun pada majikannya yang langsung menyatakan banding.
Kasus penganiayaan terhadap Nirmala Bonat hanya puncak gunung es dari problem yang dihadapi tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dan meski penganiayaan itu melibatkan unsur kriminal majikannya di Malaysia, problem utama sebenarnya terletak pada Pemerintah Indonesia—-khususnya Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Luar Negeri. Kinerja Pemerintah Indonesia dalam melindungi warga negaranya yang berkeja di luar negeri masih terlalu minimal. Bahkan terkesan minim.
Selain mendapat siksaan, ia juga tidak mendapatkan haknya sebagai seorang pekerja. Padahal,
seharusnya ia mendapatkan gaji sebesar 500 ringgit per bulannya. Jika dikalkulasi dari mulai ia bekerja
pada 2 Juli 2006 hingga Juni 2009, kurang lebih ia bekerja selama 34 bulan dan uang yang dihasilkan dari perasan keringatnya itu sekitar 17 ribu ringgit atau sekitar Rp48 juta.
Sutilah
Sangat memperihatinkan dan mengerikan, gambaran itulah yang dialami Sutilah, tenaga kerja asal Demak, Jawa Tengah ini di negeri Jiran Malaysia. Pengalaman penyiksaan yang luar biasa biadabnya dari majikannya itu menyisakan trauma dan cacat tubuh yang permanen diterimanya. Sepertinya, dari waktu kewaktu perlakuan terhadap kaum miskin yang rela bekerja keras meninggalkan keluarganya untuk memperbaiki ekonomi keluarganya tidak ada perbaikan penanganan serta tidak menggugah hati para manusia kaya di negeri seberang untuk bersikap baik terhadap mereka, dan malah sebaliknya.
Setiba di Malaysia Sutilah dipekerjakan sebagai pembantu rumah tanga dengan majikan bernama Eni. Sutilah mulai beraktifitas dengan tugasnya sebagai pembantu rumah tangga tetapi sial yang dialami , pekerjaannya selalu salah dan sering mendapat cacian dari majikan. Dari cacian tersebut mengarah kepenyiksaan terhadap dirinya mulai dari di pukul, di iris kulitnya hingga di cabuti kukunya dan yang paling naas Sutilah harus bisa memuaskan hasrat seksual majikan laki lakinya sedangkan kalau tidak mau penyiksaan terjadi terhadap dirinya sewaktu-waktu.
Hingga suatu hari, saat dirumah kosong dan ditiinggal majikan kesempatan itu dipergunakan Sutilah untuk kabur membebaskan diri dari neraka. Di tengah jalan Sutilah bertemu dengan seorang sopir, yang mana sopir bus itu adalah TKI asal Surabaya dan kemudian sopir bus itu membawa Sutilah ke KBRI Malaysia.
Pihak KBRI langsung memulangkan Sutilah ke Indonesia dan di serahkan ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk di rawat setelah mendapatkan perawatan beberapa hari akhirnya Sutilah Di bawa pulang ke Demak, setibanya di rumah keluarganya histeris melihat kondisi Sutilah yang sangat memprihatinkan badan kurus dan perut buncit sehingga Sutilah langsung di bawa ke Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus selama 5 hari karena keluarga korban tidak kuat untuk membayar biaya Rumah Sakit akhirnya Sutilah di bawa keluarganya pulang.
Sumono suami korban mengungkapkan, ” saya sangat bingung ,kami miskin dan harus berbuat apa? saya mohon kepada Pemerintah baik Daerah maupun Pusat untuk bisa membantu dalam menangani masalah ini dan kami minta Pemerintah Indonesia bisa menyelesaikan secara hukum kepada pelaku walau pelaku orang Malaysia, sampai sekarang Pemerintah seakan tutup mata dan masa bodoh dan Sutilah sama sekali belum pernah menerima gaji selama ia bekerja ,” ungkap bapak satu anak sambil menangis.
***
Dari kasus diatas bisa kita lihat sendiri banyak warga Indonesia berbondong-bondong merantau ke negara lain mengadu nasib, demi untuk memenuhi kebutuhan sanak saudara dirumah. Bagi mereka yang berhasil mungkin cukup untuk membeli sawah di kampung atau membuat toko di rumah. Tapi sebalikya bagi yang tidak berhasil, petaka besar yang bakal dialaminya.
Seperti halnya yang dialami Nirmala Bonat,Siti Hajar,Sutilah dan tentu nya masih banyak lagi akibat dari keterpurukan ekonomi mereka pun rela menjadi TKW ke Malaysia. Bahkan sampai disiksa oleh majikannya mereka tetap bertahan agar bisa memperoleh gaji. Gaji itu diperuntukkan keluarga sanak saudara dikampung halaman. Namun, pengorbanan itu ternyata belum membuahkan hasil, malahan menjadi petaka bagi mereka.
Menunjukkan bukti ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan para penyumbang devisa negara itu. Mekanisme inilah sebenarnya yang mengakibatkan pengawasan pemerintah kepada warga negaranya yang bekerja di negeri orang terlihat lemah tak efektif. Karena perusahaan pengarah tenaga kerja cenderung melalaikan kewajibannya. Maka dari itu, akan lebih baik jika fungsi perlindungan TKW ditangani langsung oleh pemerintah. Selama mekanisme perlindungan itu belum dibenahi, hentikan dulu pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Apalagi jika pemerintah belum bisa menjamin bahwa tragedi seperti yang dialami Siti Hajar takkan terulang lagi.
Sehingga keluar pertanyaan ini : TKW nya Pahlwan atau Pemerintahnya yang pecundang !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar