Minggu, 28 November 2010

PERBUDAKAN DALAM BINGKAI FOTO

News publik :



METHOD UTK MENYEKSA SLAVE



Perbudakan dan Kelaparan
Perbudakan dan Kelaparan
SUDAN : perbudakan masih eksis
SUDAN : perbudakan masih eksis
praktek perbudakan
praktek perbudakan
Perbudakan dinilai melanggar
Perbudakan dinilai melanggar
PERBUDAKAN DALAM ISLAM - Fakta
PERBUDAKAN DALAM ISLAM - Fakta
perbudakan sebagai sesuatu



SEJARAH GURU TERBAIK JANGAN LUPAKAN SEJARAH BUDAK DI INDONESIA

RADAR JAMBI

Sejarah itu guru kehidupan, sehingga kata pepatah Latin, historia magistra vitae. Sejarah adalah ilmu tua, sedangkan ilmu hukum dan ilmu politik merupakan ilmu-ilmu muda.
Bangsa punya memori yang panjang, tapi bangsa ini ( Indonesia ) memorinya pendek, sehingga mudah melupakan peristiwa-peristiwa sejarah yang menyakitkan yang dialami oleh bangsa sendiri. Meski peristiwa itu baru berlangsung beberapa tahun lalu.
Kita bukan saja gampang melupakan peristiwa pahit dan tidak berani menatapnya, tetapi juga tidak memiliki catatan yang baik mengenai banyak peristiwa yang terjadi. Maka pelajaran sejarah di sekolah-sekolah umumnya adalah sekedar hafalan tanggal, bulan, tahun, tempat, dan nama-nama.

Kita lebih suka melupakan, sehingga buku-buku sejarah tidak berani menjelaskan peristiwa-peristiwa pahit yang pernah menginjak-injak bangsa ini akibat perlakuan penjajah. Seperti penderitaan rakyat akibat Rodi/Kulturstelsel, Romusha, Kuli Kontrak, Jugun Ianfu, kamp konsentrasi Digulis, perbudakan, berbagai pembunuhan massal, politik diskriminasi, dan yang lainnya.


Romusha

Bangsa Korea sampai kini masih merekam ingatan, misalnya mengenai perlakuan keji Jepang terhadap mereka. Memori tersebut mereka gunakan untuk membangun motivasi positif untuk maju. Mereka bertekad menyaingi Jepang dalam segala hal.
Bangsa tanpa memori sejarah adalah ibarat manusia tanpa ingatan alias ibarat orang gila. Mengapa peristiwa-peristiwa pahit yang pernah dialami bangsa ini perlu untuk diingat-ingat?


Japan Invation of Korea, Imjin War (1592-1598)

Tujuannya bukan untuk mengobar-ngobarkan dendam, melainkan untuk dijadikan interospeksi dan motivasi: kalau dulu kita diinjak-injak oleh penjajah, apakah hari ini masih pula diinjak-injak oleh para elit dan penguasa?

Bagaimanakah kemudian kita jadi bangsa yang benar-benar merdeka dengan belajar dari berbagai pengalaman dan peristiwa-peristiwa pahit?

Sejak kolonialisme masuk ke Nusantara, bangsa ini tidak henti-hentinya dijajah, direndahkan, ditindas, dan diperdaya oleh berbagai tipu muslihat. Bukan saja oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang, melainkan oleh raja-rajanya sendiri yang lebih memilih jadi anasir asing yang berkomplot menyengsarakan rakyat melalui peraturan yang tidak pro rakyat.

Tahun 1816 sistem perbudakan di negeri ini baru dihapus, sedangkan sistem pergundikan yang merendahkan martabat perempuan pribumi masih berlangsung hingga tahun 1940.
Belanda dan Jepang tidak pernah secara formal meminta maaf kepada bangsa ini atas kesalahan mereka menjajah dan merampok semua yang dimiliki oleh bangsa ini.
Maka membanggakan bahwa Soekarno memang telah mengunjungi banyak negara di dunia, tetapi hanya Belanda yang tidak pernah dia datangi sampai akhir hayatnya. Menurut cerita, satu-satunya orang Indonesia yang paling dibenci oleh kerajaan Belanda adalah Presiden Pertama Republik Indonesia itu.

Historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Tetapi para elit dan penguasa negeri ini hari ini rupa-rupanya kurang berminat pada sejarah. Padahal dengan sejarah kita bisa menjelaskan kenapa kita seperti ini sekarang.
Jadi berantakan dan tidak mampu merumuskan masa depan.

PERBUDAKAN PEREMPUAN DI ZAMAN BELANDA APA BEDA DENGAN SEKARANG

RADAR JAMBI







Sjahadan antara boedak-boedaknya Toean Van Der Ploegh, ada djoega satoe orang prampoean moeda, Rossina namanja jang teramat tjantik dan manis parasnja, dan dalem antero bilangan Betawi tiada ada lagi seorang prampoean jang boleh disamaken padanya. Maskipoen Rossina asal toeroenannja orang Bali, koelitnya tiada hitem, malahan poetih koening sebagai koelit langsep. Oemoernja moeda sekali, belon anem belas taoen.

Apabila Njonja Van der Ploegh pergi melantjong atau pergi di gredja, Rossina selamanja di adjak boeat bawa tempat siri. Dimana tempat ia liwat, senantiasa Rossina dipandeng dan dipoedji orang kerna eloknya. Pakeannya tiada sebrapa bagoes, sedang sadja, jaitoe badjoe koeroeng poetih pendek sampai diwates pinggang dan kain batik, aken tetapi pinggangnja jang langsing ada teriket dengan pending mas, taboer berliant.

Ramboetnja, jang item moeloes dan pandjang sampe dimata kaki, selamanja dikondei sadja di betoelan leher. Ramboet ini biasanja digaboeng dan terhias dengan brapa toesoek kondei mas bermata berliant. Semoea barang mas inten ini soedah tentoe boekan poenjanja si Rossina, tetapi ada punjanja Njonja Van der Ploegh jang soeka sekali riaskan boedak-boedaknja soepaja njata pada orang banjak bebrapa besar kekajaanja….”

KISAH di atas adalah tulisan H.F.R. Kommer, dalam bukunya berjudul Rossinna, swatoe tjerita jang amat bagoes dan betoel soeda kedjadian di

Betawi,” terbit tahun 1910. Rossinna adalah satu dari sekian banyak roman klasik yang mengisahkan percintaan dendam, dan perbudakan pada zaman kolonial Belanda. Secara umum dapat dilihat kehidupan masyarakat waktu itu, gambaran kelompok yang berkuasa dan yang tertindas.

Dalam kisah yang ditulis Kommer, Rossinna karena sang nyonya cemburu akan kecantikannya dan takut suaminya jatuh cinta – tanpa kesalahan yang berarti telah dihukum bakar hidup-hidup sampai menemukan ajalnya.

Perbudakan di zaman kolonial Belanda berkembang sejak Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut benteng Jayakarta pada tahun 1619. Ketika Kompeni bertambah jaya, pemilikan budak mencapai puncaknya antara lain karena sistem perdagangan budak terorganisasikan dengan rapi. Perkembangan ini membuahkan “kultur” baru: pangkat dan kekayaan seorang pejabat VOC diukur dari jumlah budak yang dimilikinya.

Perbudakan khususnya di Batavia lalu menjadi sumber jorjoran. Di hari Minggu, misalnya, pameran kekayaan ini bisa disimak dari panjang pendeknya deretan budak yang mengiringi sang tuan dan nyonya Belanda ke gereja. Tiap budak mempunyai tugas membawa perlengkapan, seperti payung, bantalan kaki, kipas besar, kitab-kitab agama, tempat rokok, bahkan kotak sirih – karena beberapa nyonya Belanda makan sirih – dan benda-behda lain yang terbuat dari emas atau perak ukir-yang mahal. Pakaian dan perhiasan yang dilekatkan di tubuh budak-budak itu – tentu saja sekadar dipinjamkan termasuk dalam rangka pameran itu.

Keperluan akan budak ini semula ditumbuhkan oleh kebutuhan tenaga kerja untuk membuat benteng Batavia. Ketika Coen mengalahkan Pangeran Jayakarta (1619), kawasan pantai ini berpenduduk 350 orang. Cuma 80 di antaranya berstatus budak. Jumlah budak yang diperlukan kemudian tentu jauh lebih besar dari itu – apalagi ketika Kota Batavia berkembang.

VOC memerlukan tenaga untuk penggalian kapal, pengeringan rawa-rawa serta perapian kawasan yang dijadikan pertapakan kota. Penduduk sekitar Batavia tak bisa direkrut: Umumnya menyingkir dan menolak bekerja sama apalagi dijadikan budak. Mulanya Kompeni mendatangkan budak dari Semenanjung India dan pulau-pulau sekitar. Ini bisa disimak di dagh register atau catatan harian klerk-klerk Kompeni yang rajin menuliskan setiap kejadian dan transaksi dagangnya. Tercatat, kapal Goudbloem membawa 250 budak dari daratan Asia Timur. Sampai di Teluk Batavia, jumlah itu menyusut menjadi 114 orang. Kapal d ‘Elisabeth pergi ke Madagaskar untuk mencari pekerjaan tambang buat Silida (Salido, Sumatera Barat). Dari 115 orang budak laki dan perempuan yang dibawa dari sana, yang masih mempunyai nyawa ketika sampai di pantai Sumatera Barat cuma 62 orang.

Ketika VOC kehilangan kekuasaannya di Semenanjung India, impor manusia dari Madagaskar, Surat atau Benggala, otomatis terhenti. Sebagai gantinya VOC menemukan, di Indonesia sendiri ternyata cukup banyak sumber “komoditi kaki dua”. Hampir di setiap pulau di Indonesia waktu itu selalu ada kelas masyarakat yang berasal dari penduduk yang dikalahkan atau orang-orang yang tak bisa membayar utang yang disebut kelas budak. Dari para pemilik budak inilah, lewat calo-calo yang tiba-tiba menjamur, VOC mendapatkan mereka.

Nah, sejak saat itulah perdagangan budak tumbuh di kalangan pribumi. Setiap kapal yang berlabuh di Batavia, selain membawa dagangan tradisional (rempah, kayu cendana, kuda, dan lain-lain), juga sarat dengan komoditi istimewa ini. Kapal berkapasitas 100-200 ton yang dimiliki Kompeni sanggup membawa sekitar 200 orang budak – untuk perjalanan dari Indonesia belahan timur sampai ke Batavia yang makan waktu paling tidak dua minggu.

Dagh-register 8 Desember 1657 mencatat, seorang direktur kantor dagang di Batavia, Karel Harstinck, memborong 80 budak perempuan dan laki-laki asal Pulau Solor, dari sejumlah sekitar 90 orang yang datang dengan kapal dari sana (dituliskan: als mede 80 a 90 stuckx schapen van daer gekomen).
Perhatikan kata stuckx, kata nominal untuk membilang jumlah budak, yang disamakan dengan benda tak bernyawa. Catatan lain menyebutkan bahwa kapal Kabeljauw pada akhir ekspedisinya telah membawa 19 budak yang sehat dan kekar. Tubuh mereka sudah dicap “VOC” (… met leer lomnaeyt met Compagnie merck getjapt). Dagh-register ini hingga kini masih bisa dibaca dan disimpan di Arsip Nasional, Jakarta. Ekspedisi di sepanjang pantai Nieuw Guinea (kini Irian Jaya), telah berhasil merantai sejumlah penduduk asli. Bagi Kompeni, hasil dari pantai Irian Jaya ini termasuk “komoditi langka” dan, tentu saja, mahal. Mengetahui hal ini, pada tahun 1760 penguasa Batavia telah mengeluarkan izin untuk mengekspor dua orang budak Irian.
Pembelinya adalah wakil kaisar Tiongkok untuk dihadiahkan kepada sang kaisar. Dalam surat izin ada disebutkan:
. . . untuk dijadikan koleksi abdi dalem Seri Baginda Kaisar, sebagai budak yang ganjil dan aneh bentuknya ….”
Budak jadinya juga unsur pelicin persahabatan atau faktor pelancar hubungan dagang. Pernah, di saat pemerintahan Pangeran Mauritz (1621-1625), Belanda ingin memperluas perdagangan ladanya dengan Kerajaan Aceh. Biasanya, tanda pelicin yang diberikan ialah senapan atau meriam. Dan sepasang meriam pun dikirimkan, sebagai hadiah pembuka jalan. Tapi apa lacur, Sultan Aceh (kemungkinan besar Raja Iskandar Muda) menolak hadiah meriam ini. Sultan minta dua orang budak perempuan kulit putih. Permintaan Sultan Aceh ini tak bisa dipenuhi. Rupanya lalu lintas budak hanya berjalan satu arah, budak kulit berwarna untuk tuan kulit putih.
Bukan sebaliknya …. Berapa harga seorang budak di Batavia? Daghregister pada awal abad ke-19 mencatat, seorang budak yang sehat, muda, dan tampan, paling tidak, laku dijual dengan harga 90 real (real dari kata “rijsdaalder”, mata uang Spanyol). De Haan, yang menulis buku berjudul de Priangan memperkirakan, harga sekeluarga budak (pasangan suami-istri yang masih mempunyai anak satu), berkisar 1.220 real. Harga tinggi ini disebabkan adanya harapan bahwa pasangan suami-istri ini akan beranak pinak. Anak-anak mereka, tentu saja, menjadi milik si empunya budak.

Untuk perbandingan situasi ekonomi waktu itu, dalam buku History of Java karangan Raffles, tercatat harga 1 pikul beras, di tahun 1795, cuma 2 real. Harga lada per kati, 12 sen dan kopi 8,5 sen. Maka, bisa dibayangkan betapa kayanya seorang pejabat Kompeni kalau dia memiliki puluhan bahkan ratusan budak.

Selasa, 23 November 2010

BURUH MIGRAN MENYEBABKAN PESAT NYA PERKEMBANGAN ISLAM DI PERANCIS

RADAR JAMBI
Buruh migran memicu pesatnya perkembangan Islam di Prancis.

Islam adalah agama yang damai, universal, dan rahmat bagi seluruh alam. Karena dasar itu, agama Islam pun dapat diterima dengan baik di berbagai belahan muka bumi ini. Mulai dari jazirah Arabia, Asia, Afrika, Amerika, hingga Eropa.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRJ5hWpD_U3ddjqCoIxmA8fQln9Zk3aS-aB9jnZ_ojt0o8tUMJjsQaEmdV1fpRL5nbOIP3yFl06qSixXYeP_8OHI_E6eJFOGEEXFAe75UU1-jqXtkD6U-rm-Eej2Eywv-69O5bJdi2g-4/s400/eiffel2.jpg

Pada abad ke-20, Islam berkembang dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di benua biru yang mayoritas beragama Kristen dan Katholikini mulai menerima kehadiran Islam. Tak heran bila kemudian Islam menjadi salah satuagama yang mendapat perhatian serius dari masyarakat Eropa.

Di Prancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 M. Bahkan, pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Prancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 10ncis00 masjid berdiri di seantero Prancis.

Di negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Mauritania, dan lainnya. Sekitar tahun 1960-an, ribuan buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama di Prancis.
Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa.

Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian Asia itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan-lahan, penduduk Prancis pun makin banyak yang memeluk Islam

Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Prancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Prancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat.

Tak hanya itu, pintu keimigrasian bagi buruh-buruh yang beragama Islam pun makin dipersempit, bahkan ditutup. Meski demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Prancis tetap meningkat. Pintu ke arah sana semakin terbuka.

Pada tahun 1970-an, imigran Muslim kembali mendatangi negara pencetus trias politica itu. Kali ini, para pelajar Muslim yang datang ke Prancis untuk menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi faktor penting yang mengambil peran besar dan penting dalam mendorong penyebaran Islam dan berkehidupan Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte ini.
Tahun 1985, diselenggarakan konferensi besar Islam yang dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Prancis.

Peristiwa besar ini tidak luput dari perhatian dunia, mengingat kehadiran umat Islam di salah satu negara Eropa selalu menjadi dilema bagi para penguasa setempat, terutama yang menyangkut ketenagakerjaan (buruh) dan masalah sosial.

Hasil konferensi dan terbentuknya federasi Muslim itu berhasil mempersatukan sebanyak 540 buah organisasi Islam di seluruh Prancis dan melindungi 1600 buah masjid, lembaga-lembaga pendidikan Islam, dan gedung-gedung milik umat Islam.

Dengan kondisi ini, barisan (saf) umat Islam pun semakin kokoh. Yang lebih menggembirakan lagi, kebanyakan anggota federasi yang menjalankan roda organisasi justru berasal dari kaum muda-mudi Muslim berkebangsaan Prancis sendiri.

Federasi ini bertujuan berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan keislaman di Prancis dan memberikan pengetahuan dan pendidikan tentang Islam kepada warga Prancis.

Lembaga ini berperan besar dalam menjembatani umat Islam Prancis dengan pemerintah setempat, terutama dalam menyuarakan kepentingan umat Islam.
''Dengan kesepakatan ini, umat Islam punya hak yang sama dengan umat Katholik, Yahudi, dan Protestan,'' kata seorang menteri di pemerintahan, Nicolas Sarkozy.
Organisasi itu merupakan gabungan dari tiga organisasi besar Islam di Prancis, yakni Masjid Paris, Federasi Nasional Muslim, dan Persatuan Organisasi Islam Prancis.
Prancis, yang juga terkenal sebagai negara mode ini, pernah melarang Muslimah menggunakan jilbab sekitar tahun 1989. Pelajar Muslimah dikeluarkan dari kelas karena memakai jilbab, pekerja Muslimah dipecat dari kantornya karena mengenakan jilbab. Namun, mereka tidak menyerah begitu saja. Umat Islam Prancis menggoyang Paris dengan aksi-aksi demo menuntut kebebasan. Dan, umat Islam di berbagai negara pun turut melakukan protes atas kebijakan tersebut.
Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan pada 2 November 1992 yang memperbolehkan para siswi Muslimah untuk mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri.
Sekarang, tampilnya wanita-wanita berjilbab di Prancis menjadi satu fenomena keislaman yang sangat kuat di negeri tersebut. Mereka bukan hanya hadir di masjid-masjid atau pusat-pusat keagamaan Islam lainnya, melainkan juga di sekolah-sekolah negeri, perguruan tinggi negeri, dan tempat-tempat umum lainnya.

Banyak hal yang memengaruhi perkembangan Islam di Perancis. Salah satunya adalah Perang Teluk 1991 yang menyebabkan munculnya krisis identitas di kalangan anak muda Muslim di Prancis. Kondisi ini mendorong mereka lebih rajin datang ke masjid. Gerakan Intifada di Palestina juga mendorong makin banyaknya Muslim Perancis yang beribadah ke masjid.
Umat Islam di Prancis memiliki peranan yang sangat penting. Mereka memainkan peranan dalam semua sektor. Mulai dari pendidikan, lembaga keuangan, pemerintahan, olahraga, sosial, dan lainnya.

Bahkan, pada Perang Dunia I dan II, umat Islam di Eropa tercatat turut menentang pendudukan Nazi. Keikutsertaan umat Islam dalam menentang pendudukan Nazi menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Prancis.

Masjid dan Sekolah Islam Meningkat
Seiring dengan berkembangannya agama Islam di negara Prancis, jumlah sarana ibadah dan kegiatan keislaman pun semakin meningkat.

Menurut survei yang dilakukan kelompok Muslim Prancis, sampai tahun 2003, jumlah masjid di seantero Prancis mencapai 1.554 buah. Mulai dari yang berupa ruangan sewaan di bawah tanah sampai gedung yang dimiliki oleh warga Muslim dan dibangun di tempat-tempat umum.

Perkembangan Islam dan masjid di Prancis juga ditulis oleh seorang wartawan Prancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien. Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara Prancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Prancis sebanyak 73 masjid.

Ternisien menambahkan, masjid-masjid yang banyak berdiri di Prancis dengan kubah-kubahnya yang khas menunjukkan bahwa Islam kini makin mengemuka di negara itu. Islam di Prancis bukan lagi agama yang di masa lalu bergerak secara diam-diam.
''Masjid-masjid yang ada di Prancis kini bahkan dibangun atas tanah milik warga Muslim sendiri, bukan lagi di tempat sewaan seperti pada masa lalu,'' ujarnya.Tampaknya, pada tahun-tahun mendatang, jumlah masjid akan makin bertambah di Prancis. Sejumlah masjid yang ada sekarang terkadang tidak bisa menampung semua jamaah. Masjid di kawasan Belle Ville dan Barbes, misalnya, sebagian jamaah terpaksa harus shalat sampai ke pinggiran jalan.Awalnya, masjid-masjid yang ada di Prancis didirikan oleh orang-orang Muslim asal Pakistan yang bekerja di pabrik-pabrik di Paris, Prancis. Mereka mengubah ruangan kecil tempat makan siang atau berganti pakaian menjadi ruangan untuk shalat. Terkadang, mereka menggunakan ruangan di asramanya sebagai sarana ibadah. Sehingga, hal itu terus berkembang dan menyebar.

Perkembangan yang terus meningkat itu membuat sebagian masyarakat Prancis khawatir. Masjid-masjid yang ada sering menjadi sasaran serangan yang berbau rasisme. Masa suram masjid di Prancis terjadi pada tahun 2001. Sejumlah masjid menjadi sasaran serangan dengan menggunakan bom molotov. Bahkan, ada masjid yang dibakar. Bentuk serangan lainnya adalah menggambari dinding-dinding masjid dan dinding rumah imam-imam masjid dengan lambang swastika. Namun, sejauh ini, belum ada organisasi hak asasi manusia atau asosiasi Muslim yang mempersoalkan serangan-serangan itu.
Sekolah Tak hanya masjid yang tumbuh, lembaga pendidikan Islam di negeri mode ini pun turut berkembang. Sejumlah sekolah Islam berdiri di Prancis. Sampai kini, sedikitnya ada empat sekolah Muslim swasta.''Pemerintah belum lama ini memberi izin untuk memulai operasi,'' ujar Mahmoud Awwad, sponsor dan direktur sekolah Education et Savior. Awalnya, sebuah sekolah didirikan di Vitrerie, pinggiran selatan Paris. Kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional Prancis, namun ada tambahan pelajaran khusus muatan lokal tentang keislaman, seperti bahasa Arab dan agama Islam. Education et Savior adalah sekolah kedua yang dibuka di Paris setelah sekolah Reussite di pinggiran Aubervilliers, utara Paris, dan yang keempat di Prancis. Dua sekolah swasta Islam lainnya adalah Ibn Rushd di Kota Lille, utara Prancis, dan Al-Kindi di Kota Lyon. >Selama ini, umat Islam di Prancis ingin memiliki sekolah swasta Islam setelah Paris melarang jilbab dan simbol keagamaan di sekolah negeri empat tahun lalu. Siswi Muslim yang memakai jilbab akan dikeluarkan dari sekolah dan kondisi ini membuat masa depan mereka suram. Awwad mengaku, pihaknya tidak sulit mendapatkan izin pendirian sekolah Islam. ''Tidak seperti sekolah Al-Kindi, kami tidak menemui rintangan,'' ujar Awwad. Pembukaan Al-Kindi di Lyon mendapat hambatan saat dibuka pada 2006. Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang tertinggi di kota itu, menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada Februari tahun lalu. Ini berarti sekolah Al-Kindi bisa membuka ajaran baru pada Maret 2007. Menurut para pemimpin Muslim Prancis, insiden di Al-Kindi justru mendorong masyarakat Muslim untuk membuka sekolah serupa. ''Kontroversi Al-Kindi mendobrak ketakutan di minoritas Muslim untuk memiliki sekolah lebih banyak,'' ujar Lhaj Thami Breze, ketua Organisasi Persatuan Islam di Prancis, UOIF.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar