Minggu, 28 November 2010

HANYA MEMILIKI HANDPHONE DI JEBLOS KE PENJARA ''SADIS''

News publik :





Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.

Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender UI menunjukkan, memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen TKW Indonesia mendekam di penjara UEA karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan melalui handphone (ponsel).

Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.

Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.

Pembedaan
Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.

Di rumah aman KBRI Abu Dhabi setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.

Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyarakatan UU Nomor 39/2004. Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.

Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.

Relasi ras, kelas, jender
Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.

Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).

Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.

Ekonomi global
Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan. Mereka juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur Tengah, yang potensial menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan, serta firma hukum.

Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di antaranya menjadi kepala desa.

Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik. Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.

Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan hukum.

Oleh Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.

Inilah Penantang Google dari Indonesia

RADAR JAMBI: TONI.S

Siapa yang tak mengakui Google sebagai penyedia search engine paling populer di dunia. Namun, jangan salah, ada perusahaan Indonesia yang berani menantang Google. SITTI namanya.

"Hari ini kami memberanikan diri menantang Google Inc," kata Andy Sjarif, Group CEO SITTI, saat acara "Buka Pintu", peresmian kantor baru di Grha Tirtadi, Jalan Senopati 71, Jakarta, Rabu (24/11/2010). Ia mengatakan, bukan layanan search engine yang dilawan, tetapi platform iklan kontekstual seperti AdSense dan AdWord.

Menurutnya, saol urusan search engine, Google memang jagonya. Tidak ada yang meragukan. Bahkan orang-orang di SITTI pun mengagumi kehebatan Google. Kata dia, Google mendapat keuntungan bukan karena search engine, melainkan karena pendapatan dari iklan berjaringan yang bisa menyajikan iklan sesuai konteks halaman web atau hasil pencarian yang dikunjungi pengguna internet.
"Contextual advertising adalah yang dilawan SITTI dari Google," ujar Andy Sjarif. Namun, tentu tidak semua yang diincar SITTI karena hanya pengguna web atau blog berbahasa Indonesia yang jadi sasaran saat ini. Ia percaya diri, mesin buatan SITTI dapat bersaing dengan Google, terutama untuk halaman web dan blog berbahasa Indonesia.
Untuk menguji kemampuan mesinnya, SITTI bekerja sama dengan situs web lokal selama lebih dari sebulan, mulai dari 1 Oktober hingga 5 November 2010. Dalam rentang waktu tersebut, SITTI berhasil mengindeks 600 juta halaman situs berbahasa Indonesia dan menampilkan 3300 iklan dari 529 merek.
Tidak hanya itu, SITTI pun memasang iklan yang sama ke layanan Google AdWord dengan periode yang sama dan keyword yang sama. Hal tersebut untuk mencari pembanding dan mengukur seberapa efektif mesin SITTI menyajikan iklan secara kontekstual sesuai halaman web yang dikunjungi.
Hasilnya, SITTI mengklaim lebih efektif. Dari pengukuran impresi, SITTI mendapat skor 88,5 persen, sedangkan Google 11,5 persen. Dari jumlah klik, SITTI mendapatkan 51 persen, sedangkan Google 49 persen. Click through ratio (CTR) SITTI 64,06 persen, Google 20,87 persen, dan sisanya sama. Inilah yang membuat SITTI makin percaya diri bersaing dengan Google.

"Saya berharap dalam 2-3 tahun lagi ada pertarungan platform iklan berjaringan," kata Andy Sjarif. Karena telah belajar dari jutaan halaman web, SITTI kini pun mengerti konteks kalimat, bahkan bahasa alay juga mengerti.

Ia pun berharap Google makin serius masuk ke pasar Indonesia dan menyumbang perekonomian nasional. Menurutnya, Google seharusnya membuka kantor perwakilan di Indonesia, membayar pajak untuk pendapatannya dari pasar Indonesia, dan memberikan edukasi kepada usaha kecil dan menengah agar mendapat manfaat dari internet.

Meski demikian, SITTI mengakui jauh lebih kecil ketimbang Google. Saat ini perusahaan tersebut baru mempekerjakan 25 orang dan menggunakan enam buah server. Bandingkan dengan Google yang telah mengindeks sekitar 1 triliun halaman web dalam 129 bahasa. Namun, Andy Sjarif yakin SITTI bisa bersaing karena dukungan dari komunitas internet Indonesia.
"Hari ini bukan SITTI yang nantang Google, tapi Indonesia nantang Google karena banyak publisher percaya ide kami, banyak pengiklan percaya dengan kami," pungkasnya.

Ayo Buktikan Blogmu yang Terbaik!

RADAR JAMBI: TONI.S


Microsoft kembali mengadakan kompetisi Microsoft Bloggership 2010. Kompetisi blogger pada tahun ini bertujuan untuk mencari blogger muda yang menggunakan teknologi secara efektif dan efisien untuk memberi kontribusi positif bagi Indonesia.Tahun ini Microsoft Bloggership mengusung tema "Saving Your Social Energy and Stay Connected". Peserta Bloggership diminta menuliskan sebuah artikel di blog masing-masing mengenai ide apa yang bisa mereka berikan kepada diri sendiri, masyarakat, bahkan negara, dengan bantuan teknologi.
Menurut Yvonne Tirtoprodjo, Marketing Communication Director PT Microsoft Indonesia, selain memberikan ide mereka bagi masa depan, para peserta kompetisi ini juga dapat menuliskan apa yang telah mereka lakukan dalam memanfaatkan teknologi untuk memberi kontribusi nyata bagi diri sendiri, komunitas, atau masyarakat dan hasil yang telah dicapai.
"Tantangan yang juga perlu diperhatikan adalah peserta diminta menuliskan mengenai bagaimana mereka dapat menggunakan teknologi secara efektif dan efisien, sebagai upaya menanggulangi pemborosan energi," ungkapnya di Jakarta, Rabu (24/11/2010).
Pemenang kompetisi Microsoft Bloggership akan mendapat hadiah sebesar Rp 15 juta, sebuah gadget, perjalanan ke beberapa provinsi di Indonesia bersama Microsoft Indonesia, dan juga menerima berbagai pelatihan bersertifikat dari Microsoft Indonesia. Pendaftaran kompetisi Microsoft Bloggership ini telah dibuka sejak tanggal 23 November kemarin. Untuk mengetahui syarat-syarat mengikuti kompetisi ini, para calon peserta dapat melihat di situs http://pestablogger.com.

Lawan Google, Modal Nekat dan Teh Botol

RADAR JAMBI: TONI.S


Meski baru beroperasi selama enam bulan, SITTI berani menantang layanan iklan Google. Perusahaan asli Indonesia tersebut memang tidak main-main meski harus dengan modal seadanya.

"Cuma dua kelebihan kita dari Google, nekat sama teh botol," kata Andy Sjarif, Group CEO SITTI, saat acara "Buka Pintu" kantor barunya di kawasan Senopati, Jakarta, Rabu (24/11/2010). Kenapa teh botol? Kata Andy, semua orang di SITTI sangat tergila-gila dengan teh botol dan menurutnya hanya jumlah konsumsi teh botol yang bisa mengalahkan berapa kali mereka mengakses Google setiap hari.

Bahkan, dalam acara tersebut pun, Andy berdiri dengan kerat teh botol sebagai pengganti panggung. Tamu-tamu bebas minum teh botol yang khusus untuk acara tersebut disediakan sebanyak 20 kerat. Bahkan, kata Andy, penjualan teh botol di kantor yang dikelola koperasi kecil-kecilan oleh office boy di kantor tersebut adalah pendapatan perusahaan saat ini. Tentu cerita tersebut langsung disambut tertawa tamu undangan yang hadir.

Kenapa pakai nama SITTI yang terkesan jadul? Andy Sjarif mengatakan ada dua alasan mengenai pemilihan nama tersebut. Menurutnya, SITTI bukan singkatan apa pun, melainkan diambil dari nama Sitti Nurbaya, judul novel yang revolusioner dan membuat ledakan linguistik. SITTI yang juga erat kaitannya dengan linguistik ingin meniru kesuksesan novel Sitti Nurbaya.

Selain itu, nama SITTI diakui Andy terkesan lama dan kampungan. Namun, nama tersebut sengaja dipilih untuk menantang Google. "Malu dong kalau Google lawan SITTI yang kampungan atau sebaliknya kalau Google sampai dikalahkan SITTI," ujar Andy Sjarif.

SITTI berdiri enam bulan lalu dan mengembangkan platform iklan kontekstual, seperti Google AdWord dan AdSense. Mereka berusaha menyajikan iklan dalam halaman situs web atau blog sesuai isi artikel dalam halaman tersebut. SITTI telah mengindeks 600 juta halaman web berbahasa Indonesia dan menyajikan 3.300 iklan dari 529 merek. Saat ini SITTI telah mempekerjakan 25 orang dan menggunakan 6 server.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar