Sabtu, 18 September 2010

Sosok Penyelamat Hutan di Lereng Wilis

NEWS PUBLIK:
K
Sutaji, penyelamat hutan di Lereng Wilis.


Penjarahan kayu tahun 1998 membuahkan puluhan hektar lahan kritis di kawasan hutan lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ini menjadi sumber bencana banjir dan longsor serta matinya sumber air dan sumber ekonomi masyarakat. Namun, berkat kerja keras Sutaji, bencana berhasil dihalau dan hutan pun kembali menghijau.

Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun, sedikitnya 61 hektar kawasan hutan yang gundul akibat euforia kebablasan para penebang pohon di kawasan hutan lindung ataupun hutan produktif telah menjadi rimbun kembali. Bahkan, puluhan hektar tanah tegalan dan pekarangan disulap menjadi lahan produktif konservasi yang berfungsi sebagai penyangga keberadaan hutan.

Kemakmuran pun terlimpah tidak saja bagi masyarakat di sekitar hutan, tetapi mengalir jauh hingga radius ratusan kilometer menyusur aliran Sungai Widas dan bermuara pada Sungai Brantas. Ini melintasi separuh wilayah Provinsi Jawa Timur.

Lebih dari 40 sumber mata air dihasilkan dari kegiatan penyelamatan hutan itu. Air dari mata air tersebut bisa mengairi ribuan hektar sawah di sekitarnya. Sumber mata air itu juga menghasilkan pesona wisata air merambat Roro Kuning yang keindahannya memikat wisatawan.

Upaya penyelamatan lingkungan itu dimulai oleh petani dari Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar itu. Tanpa bantuan dan hanya berbekal sedikit ilmu pengetahuan, ia berupaya menghentikan kegiatan perambahan hutan.

Sutaji harus berhadapan langsung dengan perambah hutan yang tak lain tetangga dan saudaranya sendiri. Di mata Sutaji, warga hanya korban dari iming-iming uang dan pekerjaan yang dijanjikan oleh bos kayu dari luar kota.

Memberi contoh

Sutaji sedih ketika membayangkan bagaimana warga desa jika kawasan hutan telah habis dibabat? Tak hanya pekerjaan yang hilang, lingkungan tempat tinggal mereka yang berbatasan langsung dengan hutan pasti juga hancur akibat banjir atau tebing yang longsor.

Karena keprihatinan itulah, anak petani desa ini bergerilya dari satu orang ke orang lain, dari satu rumah ke rumah lain untuk mengampanyekan penghentian penebangan hutan dan mengoordinasi warga mengusir bos kayu yang hanya memanfaatkan tenaga dan kebodohan masyarakat untuk kepentingan sendiri.

Awalnya Sutaji mendapat penolakan keras. Ia dicemooh. ”Apa anakmu bisa dikasih makan kayu?” kata Sutaji menirukan ucapan pamannya sendiri.

Namun, dia tak menyerah. Ia justru tercambuk untuk berbicara pada setiap kesempatan, dari acara kumpul petani di sawah sampai pada pertemuan perangkat desa.

Hasilnya tidaklah mengecewakan. Lambat laun kesadaran warga mulai terbangun. Tanpa mau kehilangan momentum yang luar biasa mengharukan itu, Sutaji langsung memberikan contoh dengan menanami kembali kawasan hutan yang gundul.

Petani yang kehidupannya sendiri kala itu masih susah, rela menyisihkan waktu, tenaga, dan biaya dengan menyediakan ribuan bibit tanaman untuk ditanam di hutan. Ada pohon jati, sengon, mindi, cengkeh, trembesi, mangga, rambutan, dan avokad.

Pada 2000, Sutaji sempat meminta bantuan bibit kepada Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan. Namun, permintaannya ditolak.

Di tengah perjalanan menghijaukan kembali kawasan hutan, tidak semua tanaman yang ditanam Sutaji tumbuh maksimal. Beberapa di antaranya bahkan mati. Ia pun kemudian menyadari bahwa butuh pengetahuan tentang tanaman yang cocok untuk kawasan hutan yang masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Kediri itu.

Tingkatkan kesejahteraan

Ketua Kelompok Tani Sidodadi, Desa Bajulan, ini lantas melobi sejumlah instansi pemerintah agar diikutkan pelatihan mengenai tanaman. Dari pelatihan itulah, Sutaji mendapatkan pengetahuan tentang jenis tanaman dan cara bercocok tanam di kawasan hutan.

Sutaji lalu mengajak petani membuat sistem persawahan terasering di lereng-lereng pegunungan yang curam untuk menahan aliran air yang sangat deras pada musim hujan.

Setelah menyelamatkan hutan, ayah dari dua anak ini kemudian berpikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang tidak memiliki lahan pertanian produktif. Caranya, antara lain, dengan memanfaatkan hutan untuk pertanian, tanpa mengubah, apalagi merusak, fungsi hutan itu sendiri.

Misalnya, menanam tanaman perkebunan yang bernilai ekonomis di bawah tegakan tanaman inti. Mereka harus cermat memilih jenis tanaman karena tidak semuanya bisa berkembang di bawah paparan sinar matahari yang kurang dari 100 persen.

Sejauh ini yang sudah menghasilkan adalah tanaman kopi, kakao, umbi porang, dan pohon atsiri. Hasil tanaman perkebunan itulah yang diambil masyarakat untuk menghidupi keluarga mereka. Sedangkan hasil tanaman hutan menjadi milik Perum Perhutani.

Selain bertani, sebagian masyarakat juga mendapatkan nilai tambah keekonomian dari kawasan wisata Roro Kuning yang mengandalkan pesona hutan dan air terjunnya. Ada yang menjadi penjaga loket, pedagang kaki lima, dan petugas pengelola lainnya.

Terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat telah mencegah eksodus generasi muda mencari pekerjaan ke kota besar, bahkan ke luar negeri. Kesejahteraan masyarakat pun meningkat, di mana salah satu indikatornya dilihat dari kondisi rumah dan taraf pendidikan anak-anak.

Seperti halnya kelestarian hutan yang perlu dijaga, semangat untuk melestarikan hutan juga perlu dipupuk dan diwariskan kepada generasi muda. Untuk masalah yang satu ini, Sutaji merintisnya melalui kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar