Mengawali tulisan ini, pertama-tama perlu ditegaskan lagi bahwa meramal letusan gunung api tidak akan bisa tepat 100 persen, terutama jika di gunung tersebut tidak dipasang alat-alat pemantau aktivitas kimia dan seismik. Padahal, gunung yang ”tidur” justru berpotensi menyimpan energi besar.
Tak ada seorang pun menduga Gunung Sinabung akan meletus lewat tengah malam Sabtu (28/8/2010), tepatnya sekitar pukul 00.08, Minggu (29/8/2010). ”Kami belum sempat memasang peralatan karena mulai aktifnya baru,” ujar Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Bahkan, pada 28 Agustus 2010, ”Amat tenang,” tutur Surono, Minggu (29/8/2010) di Bandung.
Hanya sekitar 24 jam kemudian gunung tersebut menyalak dengan melontarkan gas hingga sekitar 1.500 meter ke atas.
Ia sempat tidak enak hati karena sebelumnya telah mengeluarkan pernyataan bahwa aktivitas gunung yang terletak di daerah Brastagi itu tidak berbahaya.
Persoalannya, Gunung Sinabung memang tidak dipantau karena termasuk gunung api tipe B, yaitu letusan terakhir tercatat pada tahun 1600-an.
Indonesia sebagai tempat pertemuan tiga lempeng besar dunia memiliki gunung api yang berderet sepanjang zona subduksi. Tak kurang dari 150 gunung api terdata oleh pemerintah kolonial Belanda. Sekitar 80 gunung di antaranya termasuk tipe A (pernah meletus setelah tahun 1600-an), sekitar 34 buah adalah gunung api tipe B (letusan terakhir sekitar tahun 1600-an), dan sisanya adalah gunung api tipe C yang sama sekali tidak ada data letusannya.
Patokan pendokumentasian adalah tahun 1600-an, karena, ”Setelah Belanda masuk ke Indonesia, pendokumentasiannya menjadi lebih baik. Jadi, letusan sebelumnya tidak terdokumentasi dengan baik. Kalaupun ad,a hanya didapat dari cerita mulut ke mulut saja,” ujar Kepala Bidang Pengamatan Gempa Bumi dan Gerakan Tanah PVMBG I Gede Suantika saat dihubungi kemarin.
Karena sedemikian banyaknya gunung api di Indonesia, maka prioritas pemantauan diberikan kepada gunung api tipe A, sementara gunung api tipe B dianggap ”tidur”.
Gunung api yang ”tidur” ini sebenarnya terus melakukan aktivitas vulkaniknya. Gunung ini punya fumarol dan solfatar, yaitu sumber gas dan uap yang mengandung gas-gas seperti karbon dioksida dan gas belerang.
”Kami hanya datang sesekali ke gunung api tipe B ketika terjadi peningkatan aktivitas,” ujar Surono. Dia mengaku ”kecolongan” dengan meletusnya Gunung Sinabung yang sempat tenang pada 24 jam sebelum meletus.
Menyadari semakin padatnya populasi di daerah-daerah subur, yang notabene adalah daerah-daerah kawasan gunung api, Surono menegaskan perlunya mengubah pola pikir. Dia teringat akan proses termodinamika yang merupakan proses yang berlangsung di dalam sistem gunung api—di mana prosesnya melibatkan faktor temperatur, tekanan, dan volume.
Temperatur antara lain dipengaruhi oleh magma yang tersimpan dalam perut magma gunung bersangkutan, sementara tekanan bisa meningkat ketika gas terperangkap di dalam kubah gunung, dan volume gas juga bisa meningkatkan tekanan. ”Proses termodinamika ini tidak bisa diprediksi karena merupakan sebuah proses yang harus dilihat pada akhir proses, pada ’saat itu’,” tutur Surono.
”Saat itu” adalah saat di mana energi yang dihasilkan oleh proses termodinamika tersebut keluar dalam bentuk letusan. ”Kita tidak pernah tahu kapan itu bakal terjadi,” kata Surono.
Tak bisa diketahui kapan terjadi bukan berarti tidak bisa didekati prediksinya dengan pendekatan pengukuran data-data fisik dan kimia.
Gunung berapi tipe A relatif lebih bisa diprediksi karena proses termodinamika yang berlangsung di dalam sistem gunung api ditangkap melalui pengukuran-pengukuran fisik dan kimiawi. Di gunung api tipe A, pihak PVMBG memasang termometer untuk mengukur suhu air, juga memasang pengukur unsur-unsur kimia dari gas dan uap pada fumarol dan solfatar. Selain itu juga dipasang seismograf untuk mencatat tremor atau gempa vulkanik. Ketika aktivitas vulkanik meningkat, semua data akan terbaca pada alat-alat tersebut.
Padahal, pada gunung api tipe B, risiko bencananya pun berpotensi menjadi besar.
”Ketika sebuah gunung api tidak aktif dalam jangka panjang, maka potensi meletusnya besar sehingga energinya pun besar. Dengan demikian, risikonya pun besar,” ungkap Surono. Artinya, pemantauan yang dilakukan menerus berperan penting dalam melakukan prediksi meletusnya gunung api meski seperti disebutkan sebelumnya, proses termodinamika adalah proses ”saat itu”—proses terakhir yang menentukan.
Menurut Gede, dari fenomena aktivitas vulkanik yang tercatat di Gunung Sinabung, ”Letusan ini baru awal,” katanya. Menurut dia, letusan gunung yang jaraknya dekat dengan Gunung Sibayak ini masih akan berlangsung dalam hitungan minggu hingga bulan. ”Belum bicara soal besarnya letusan,” ujarnya.
Dari laporan data yang masuk, muncul indikasi terjadi suplai magma baru yang ditandai dengan gempa vulkanik dalam atau gempa vulkanik A—sumber gempanya sekitar 1 kilometer-5 kilometer di bawah permukaan. Jika frekuensi gempa vulkanik dalam ini meningkat—hingga ratusan per hari—ada kemungkinan terjadi letusan lebih besar.
Apa yang diungkapkan Surono tentang proses termodinamika yang terbaca ”saat itu” telah mendapatkan jawabannya di lapangan. Artinya, pengamatan harus terus dilakukan karena indikasi akan langsung disusul dengan aksi (kejadian) yang berpotensi mengakibatkan bencana.
Ketika Gunung Sinabung yang ”tidur” itu terbangun, proses termodinamika ”saat itu” lalu menjadi riil. Maka, tak salah bahwa pengamatan harus terus-menerus dilakukan sekarang ini terhadap Gunung Sinabung dan di masa mendatang terhadap gunung api-gunung api tipe B lainnya. Sebab, rakyat berhak mendapatkan perasaan aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar